BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Geomorfologi berasal dari bahasa yunani kuno, terdiri dari tiga akar kata,
yaitu Geo = bumi, morphe = bentuk dan logos = ilmu, sehingga kata geomorfologi
dapat diartikan sebagai ilmu yang mempelajari bentuk permukaan bumi. Berasal
dari bahasa yang sama, kata geologi memiliki arti ilmu yang mempelajari tentang
proses terbentuknya bumi secara keseluruhan.
Definisi ; Geomorfologi adalah ilmu yang mempelajari tentang bentuk
permukaan bumi serta proses - proses yang berlangsung terhadap permukaan bumi
sejak bumi terbentuk sampai sekarang.
Berdasarkan pengertian dan definisi geomorfologi, maka bidang ilmu
geomorfologi merupakan bagian dari geologi yang mempelajari bumi dengan
pendekatan bentuk rupa bumi dan arsitektur rupa bumi.
Goa merupakan satu lorong yang terdapat di perut bumi
yang disebabkan oleh faktor/kekuatan alam. Goa memiliki sistem atmosfer yang
selalu basah, lingkungan dengan simplitas extern, serta suhu yang konstan, dan
kesemuanya berlangsung dalam kegelapan yang abadi.
Gua Pawon
adalah sebuah tempat yang penting bagi orang Sunda karena di sana pernah
ditemukan kerangka manusia purba yang konon adalah nenek moyang orang Sunda
(masih diteliti di balai Arkeolog Bandung). Gua ini sebenarnya adalah sebuah
situs purbakala yang terletak di Desa Gunung Masigit, Kecamatan Cipatat,
Padalarang, Kabupaten Bandung Barat, atau sekitar 25 km arah barat Kota Bandung.
Namun sayangnya
popularitas Gua Pawon sendiri sebagai sebuah tempat wisata kalah dengan
tempat-tempat wisata lainnya yang berada di sekitar Bandung. Misalanya saja
oleh Kawah Putih, Tangkuban Perahu ataupun Situ Cibutur yang berada di
dekatnya. Jadi bagi yang tinggal di daerah Bandung atau pun yang sering
berdomisili di Jatinagor seperti kami, kami sarankan untuk berkunjung ke Gua
Pawon ini.
1.2 Rumusan
Masalah
Berdasarkan
uraian tersebut, maka kami merumuskan masalah pada Geomorfologi Gua Pawon
tersebut, dan khususnya mengenai karakteristik dari gua Pawon tersebut, seperti
kemiringan lereng, topografi gua pawon, jenis-jenis batuan, vegetasi daerah
tersebut, dan kerapatan vegetasi yang ada di wilayah Gua Pawon tersebut.
1.3 Waktu
dan Tempat
Observasi
lapangan dilakukan pada:
Waktu : Senin, 17 Juni 2013
Tempat : Gua Pawon, Padalarang, Kabupaten
Bandung
1.4 Tujuan
Laporan
Adapun tujun
dari Laporan ini, yaitu:
a)
Memberikan pengetahuan pada Mahasiswa dalam
memahami karakteristik sebuah Gua
b)
Memberikan keterampilan kepada mahasiswa dalam
mendeskripsikan sebuah Gua di keadaan sebenarnya.
1.5 Kegunaan
Observasi
Adapun kegunaan observasi ini, yaitu:
a)
Meningkatkan kemampuan mahasiswa dalam
penguasaan Bidang Geografi, khususnya mengenai mata kuliah Geomorfologi secara
teori dan praktik lapangan.
b)
Data yang dihasilkan menjadi data dasar, bahan
informasi dan referensi bagi pihak-pihak terkait yang membutuhkan informasi
mengenai hal tersebut.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 KARST
Karst adalah sebuah
bentuk permukaan bumi yang pada umumnya dicirikan dengan adanya depresi
tertutup (closed depression), drainase permukaan, dan gua. Daerah ini dibentuk terutama oleh pelarutan batuan, kebanyakan batu gamping.
Karst adalah jenis batuan gamping yang telah mengalami
proses pelarutan dengan batuan asam karbonat dan asam lainnya sebagai hasil
dari proses pembusukan sisa-sisa tumbuhan di atasnya.
Istilah karst yang
dikenal di Indonesia sebenarnya diadopsi dari bahasa Yugoslavia/Slovenia.
Istilah aslinya adalah krst/krast' yang merupakan nama suatu kawasan di
perbatasan antara Yugoslavia dengan Italia Utara, dekat kota Trieste.
Di
Slovenia, istilah Karramengalami evolusi linguistik menjadi kars/kras yang
bermakna daerah berbatu dan tandus. Pada akhir abad-18 hingga pertengahan abad
19, The Geographical & Geological Schooldi Vienna selalu menggunakan
istilah kars/kras untuk menamakan daerah dengan “fenomena karst” dan berhasil
meyakinkan dunia internasional untuk menggunakan istilah karst sebagai istilah
ilmiah untuk menamakan daerah yang memiliki fenemina khas hingga sekarang.
Daerah
karst terbentuk oleh pelarutan batuan terjadi di litologi lain, terutama batuan karbonat lain misalnya dolomit, dalam evaporit seperti halnya gips dan halite, dalam silika seperti halnya batupasir dan kuarsa, dan di basalt dan granit dimana ada bagian yang kondisinya cenderung
terbentuk gua (favourable). Daerah ini disebut karst asli.
Daerah karst dapat juga
terbentuk oleh proses cuaca, kegiatan hidraulik, pergerakan tektonik, air dari pencairan salju dan pengosongan batu cair (lava). Karena proses dominan dari kasus tersebut adalah bukan pelarutan, kita
dapat memilih untuk penyebutan bentuk lahan yang cocok adalah pseudokarst (karst palsu).
Pembentukan Fisiografis
secara umum berupa bukit-bukit dengan besar dan ketinggian yang beragam. Ciri
khas bentang alam ini selain pembukitan, adanya dekokan/cekungan dengan
berbagai ukuran. Pengasatan permukaan yang terganggu, serta gua dan sistem
pengasatan bawah tanah.
Salah
satu faktor yang paling banyak menarik perhatian para ahli adalah keberadaan
goa pada daerah karst. Goa karst merupakan laboratorium yang menyimpan berbagai
informasi berharga untuk kegiatan maupun pekerjaan ilmiah di bawah permukaan
daerah karst.
a. Ciri-ciri daerah karst antara lain:
- Daerahnya berupa cekungan-cekungan.
- Terdapat bukit-bukit kecil.
- Sungai-sungai yang nampak dipermukaan hilang dan terputus ke dalam tanah.
- Adanya sungai-sungai di bawah permukaan tanah
- Adanya endapan sedimen lempung berwama merah hasil dari pelapukan batu gamping.
- Permukaan yang terbuka nampak kasar, berlubang-lubang dan runcing.
b. Fungsi Kawasan Karst
1) Kawasan
Karst Sebagai Akuifer Air Alami
Fungsi
kawasan karst bagi kehidupan manusia masih menjadi perdebatan hingga saat ini.
Awalnya, para ahli memahami bahwa karst merupakan wilayah kering yang tidak
produktif. Hal ini disebabkan oleh sifat fisik batugamping yang menyusun
kawasan karst didominasi oleh porositas sekunder, banyak retakan dan
permukaannya berlubang-lubang sehingga tidak mampu menyimpan air dalam waktu
yang lama. Air hujan yang mengguyur daerah karst diyakini langsung turun ke
bawah menuju zona jenuh air kemudian mengalir menuju titik-titik keluaran
menjadi mata air atau terbuang ke laut.
Hal ini
diyakini menjadi penyebab kenapa daerah karst selalu identik dengan kekeringan
dan daerah tandus. Kawasan karst selanjutnya hanya dinilai dari segi ekonomis
batugampingnya, yakni sebagai bahan galian golongan-C.
Perkembangan
pengetahuan tentang karst ternyata mengungkapkan bahwa karst justru merupakan
akuifer air yang baik, berpengaruh langsung bagi kehidupan manusia dan
lingkungan sekitarnya. Konsep epikarst yang dilontarkan oleh ahli hidrologi
karst Mangin (1973) menyebutkan bahwa lapisan batugamping yang ada di dekat
permukaan karst memiliki kemampuan menyimpan air dalam kurun waktu yang lama.
Hal yang
sama juga dikemukakan oleh Alexander Klimchouk (1979, 1981) bahwa zona di dekat
permukaan karst merupakan zona utama pengisi sistem (hidrologi) karst melalui
proses infiltrasi diffuse dan aliran celah (fissure flow). Daritipe aliran air
pada celah vertikal, Chernyshev (1983) kemudian memperkirakan bahwa zona
epikarst ini terletak pada kedalaman 30 – 50 meter di bawah permukaan karst
dengan ketebalan bervariasi, biasanya 10 -15 meter dari permukaan (Klimchouk,
2003).
Berdasarkan
hasil-hasil penelitian tersebut menjadi jelas bahwa kawasan karst memiliki fungsi
yang jauh lebih penting daripada hanya sekedar gundukan bahan galian C, yaitu
sebagai akuifer air alami yang berperan penting terhadap suplai hidrologi bagi
daerah sekitarnya.
2) Kawasan
Karst Sebagai Hunian Fauna Pengendali Hama
Kawasan
karst selalu memiliki goa yang jumlahnya mencapai belasan hingga ratusan dalam
satu kawasan. Goa-goa ini ternyata merupakan hunian bagi sejumlah biota, salah
satunya adalah kelelawar. Berbagai jenis kelelawar bisa hidup berdampingan
dalam satu goa. Beberapa goa yang memiliki dimensi ruang besar dan lorong yang
panjang, mampu menampung ribuan hingga jutaan ekor kelelawar.
Beberapa
jenis kelelawar yang biasa ditemui hidup di goa-goa karst antara lain adalah
kelelawar pemakan serangga dari jenis Nycteris javanica, Hipposideros larvatus,
Hipposideros diadema, Rhinolopus sp, dan Miniopterus sp (Rahmadi &
Wiantoro, 2007).
Daya
jelajah kelelawar ini mencapai radius kurang lebih sembilan kilometer dari
tempat tinggalnya, artinya kelelawar ini memiliki kemungkinan menjaga areal
seluas 250 kilometer persegi dari ancaman hama serangga.
Kelelawar
memiliki kemampuan makan hingga seperempat berat tubuhnya, tiap malamnya
kelelawar pemakan serangga mampu melahap 800 – 1200 ekor serangga (Ducummon,
2001). Tentu saja hal ini berdampak positif bagi bidang pertanian. Petani tidak
perlu repot mengeluarkan banyak uang untuk membeli pestisida. Namun sayangnya,
kesadaran masyarakat terhadap nilai penting kelelawar masih begitu rendah. Di
beberapa wilayah, masyarakat masih gemar memburu kelelawar untuk sekedar
menjadi lauk pauk hingga diperjualbelikan.
Gangguan
terhadap habitat kelelawar, menyebabkan hama serangga yang tidak terkendali.
Akibatnya, hasil pertanian tidak sesuai dengan yang diharapkan hingga gagal
panen total.
3) Kawasan
Karst Sebagai Pengendali Banjir
Sifat
fisik batugamping penyusun kawasan karst memungkinkan kawasan karst tersebut
memiliki kemampuan menyerap dan menyimpan air hujan dalam kurun waktu yang
cukup lama. Hal ini tak lepas dari peran zona epikarst yang merupakan zona yang
mampu menyimpan air paling banyak dalam satu tubuh batugamping.
Keberadaan
zona epikarst yang terletak dekat permukaan sangat memungkinkan mendapatkan
gangguan dari aktivitas manusia, salah satunya adalah perubahan bentuk lahan,
baik untuk keperluan eksploitasi batugamping (baca : tambang) maupun untuk
keperluan lain, seperti mendirikan bangunan.
Permukaan
karst yang dikupas menyisakan batuan yang lebih pejal dan masif dengan sedikit
pori-pori maupun retakan-retakan. Sehingga ketika hujan turun, batuan tersebut tidak
lagi mampu menyerap air. Air yang tidak terserap akan melimpas melalui
permukaan dan berpotensi menimbulkan banjir bandang, terutama jika lahan yang
terkupas memiliki luas dan kelerengan yang signifikan.
Setiap
lahan karst yang telah terkupas, membutuhkan waktu yang lama (ribuan tahun)
untuk kembali membentuk lapisan epikarst dan berfungsi sebagaimana awalnya.
Sehingga dapat disimpulkan, setiap kerusakan yang terjadi pada permukaan karst
bersifat permanen dan tidak dapat direhabilitasi lagi.
4) Kawasan
Karst Sebagai Laboratorium Alam
Berbagai
potensi yang terdapat di kawasan karst menjadikan kawasan karst memiliki nilai
ilmiah yang tinggi. Di seluruh penjuru dunia, kawasan karst sudah umum menjadi
lokasi penelitian berbagai disiplin ilmu pengetahuan. Segala segi informasi
yang terekam dan tersimpan selama proses pembentukan karst menjadi bahan
penelitian disiplin ilmu kebumian.
Flora
dan fauna tentu saja menjadi kajian menarik bagi mereka yang menekuni ilmu
hayati. Bukan hanya flora dan fauna yang hidup di permukaan karst, namun juga
mereka yang jauh tersembunyi dalam gelapnya goa-goa karst. Karakter khusus
perilaku hidrologi karst menjadi kajian tersendiri bagi mereka yang menekuni
hidrologi.
Karst
dengan segala sifat fisik batuan penyusunnya, ternyata merupakan tempat yang
ideal untuk mengawetkan berbagai macam jenis sisa kehidupan masa lampau. Tak
terkecuali fungsi goa sebagai tempat hunian manusia-manusia prasejarah. Aneka
ragam perkakas hingga fosil manusia purba banyak ditemukan di kawasan karst.
Tak heran jika kawasan karst ibarat surga bagi dunia arkeologi . Masih banyak
lagi displin ilmu yang menggunakan karst sebagai laboratoriumnya.
Berbagai
temuan spektakuler telah dipublikasikan sejak ilmu tentang karst dipelajari
manusia pada awal abad 19 lalu. Beberapa diantaranya adalah temuan spektakuler
tentang keberadaan goa terpanjang di dunia Flint – Mammoth System (500 km) di
Kentucky – USA, goa terbesar di dunia Hang Dong Soon – Vietnam, Lukisan Goa
Tertua di Lascaux Perancis, Fosil Manusia Kerdil/Hobbit di Liang Bua Flores –
Indonesia, dsb.
Kawasan karst di
Indonesia mencakup luas sekitar 15,4 juta hektare dan tersebar hampir di
seluruh Indonesia. Perkiraan umur dimulai sejak 470 juta tahun lalu sampai yang
terbaru sekitar 700.000 tahun. Keberadaan kawasan ini menunjukkan bahwa
pulau-pulau Indonesia banyak yang pernah menjadi dasar laut, namun kemudian
terangkat dan mengalami pengerasan. Wilayah karst biasanya berbukit-bukit
dengan banyak gua.
c. Berikut adalah wilayah karst di Indonesia:
- Gunung Leuser (Aceh)
- Perbukitan Bohorok (Sumut)
- Payakumbuh (Sumbar)
- Bukit Barisan, mencakup Baturaja (Kabupaten Ogan Kombering Ulu)
- Sukabumi selatan (Jabar)
- Gombong, Kebumen (Jawa Tengah)
- Pegunungan Kapur Utara, mencakup daerah Kudus, Pati, Grobogan, Blora dan Rembang Jawa Tengah)
- Pegunungan Kendeng, Jawa Timur
- Pegunungan Sewu, yang membentang dari Kabupaten Bantul di barat hingga Kabupaten Tulungagung di timur.
- Sistem perbukitan Blambangan, Jawa Timur
- Perbukitan di bagian barat Pulau Flores, tempat lokasi banyak gua, salah satu di antaranya adalah Liang Bua (Nusa Temggara Timur, NTT)
- Perbukitan karst Sumba (NTT)
- Pegunungan karst Timor Barat (NTT)
- Pegunungan Schwaner (Kalbar)
- Kawasan Pegunungan Sangkulirang - Tanjung Mangkaliat seluas 293.747,84 hektare, memiliki gua-gua dengan lukisan dinding manusia purba (Kalimantan Timur)
- Perbukitan Maros Pangkajene, terletak di Kabupaten Maros dan Kabupaten Pangkep Sulawesi Selatan, seluas 4.500 hektare dan beberapa di antara gua-gua yang ada memiliki lukisan purba
- Kawasan karst Wowolesea, memiliki sistem air asin hangat (Sulawesi Tenggara)
- Pulau Muna
- Kepulauan Tukangbesi
- Pulau Seram (Maluku)
- Pulau Halmahera (Maluku Utara)
- Kawasan karst Fakfak (Papua Barat)
- Pulau-pulau Biak dan Pegunungan Tengah dan Pegunungan Lorentz (Papua)
Kawasan Pegunungan
Sewu, Pegunungan Maros, dan Pegunungan Lorentz telah diusulkan ke UNESCO untuk
menjadi Kawasan Warisan Dunia.
Sisa-sisa permukiman
manusia purba ditemukan di Leang Cadang, Leang Lea, dan goa-goa lainnya di
Maros, Goa Sampung dan Goa Lawa di Ponorogo, Goa Marjan dan Goa Song di Jember,
Song Gentong (Tulungagung), Song Brubuh, Song Terus, dan Goa Tabuhan di
Pacitan. Lukisan atau cap dinding ditemukan di kawasan Kalimantan Timur,
Sulawesi Selatan dan Tenggara, Kepulauan Kai, Seram, Timor, serta Papua. Ini
menunjukkan indikasi migrasi manusia ke arah timur. Selain itu ditemukan pula
berbagai sisa berbagai jenis vertebrata berusia 1,7 juta tahun hingga 700.000
tahun.
Perlindungan kawasan
karst dan gua-gua di bawahnya dalam UU No. 24 th 1992 bahwa yang termasuk
kawasan lindung diantaranya kawasan resapan air dan kawasan cagar budaya dan
ilmu pengetahuan (pasal 7) yang merupakan kawasan yang memberikan perlindungan
kawasan dibawahnya (pasal 3).
d. Potensi Kawasan Karst
Aspek Hidrologi,
wilayah endokarst (dalam kasrt) di kawasan karst kaya akan sumber air.
Aspek Ilmu Pengetahuan,
gua merupakan salah satu laboratorium alam bagi ilmuwan biologi, geologi,
karstologi, dll. Gua juga merupakan habitat bagi kelelawar, sriti dan walet.
Aspek ekonomi,
Walet dan sriti yang
tinggal dalam gua merupakan aset hayati yang sangat berharga. Gua juga merupakan
aset wisata alam yang sangat unik dan menarik baik sebagai gua wisata umum
maupun khusus (adventure).
Gua tertentu dapat
dikembangkan sebagai obyek wisata gua. Fenomena bukit karst alam. Macam olah
raga dapat dikembangkan di kawasan ini antara lain penyusuran gua, panjat tebing,
lintas medan.
e. Kerusakan Kawasan Karst
Kerusakan Lingkungan Karst dapat terjadi
karena:
Pembakaran
batu gamping untuk pengambilan fasfat, Guano mineral kalsit,
stalagtit/stalagmit dari gua-gua. Kerusakan total kawasan batu gamping dan
pembuatan semen. Usaha Gampingisasi lahan-lahan pertanian komersialisasi
gua-gua batu sembrono, pengambilan sarang walet/sriti dan kelelawar secara
sembrono, penelusuran gua oleh pecinta alam tanpa mengerti yang harus
diperhatikan, tanpa mengenal ekologi gua yang rapuh, dan tanpa mengetahui
konservasi lingkungan gua.
Dalam
konflik kepentingan antara perlindungan dan ekploitasi harus diawali dengan
studi kelayakan yang menyeluruh pada lingkungan ekokarst, berorientasi pada
wawasan lingkungan dan jangan hanya memperhatikan lokasi terbatas dimana
kegiatan dilaksanakan.
2.2.1
Goa/ Guha
Goa merupakan satu lorong yang terdapat di perut bumi
yang disebabkan oleh faktor/kekuatan alam. Goa memiliki sistem atmosfer yang
selalu basah, lingkungan dengan simplitas extern, serta suhu yang konstan, dan
kesemuanya berlangsung dalam kegelapan yang abadi.
Sebuah gua adalah sebuah lubang
alami di tanah yang cukup besar dan dalam. Beberapa ilmuwan menjelaskan bahwa
dia harus cukup besar sehingga beberapa bagian di dalamnya tidak menerima
cahaya matahari; namun dalam penggunaan umumnya pengertiannya cukup luas,
termasuk perlindungan batu, gua laut.
a. Jenis-jenis goa
1. Vertical Caves
Goa yang lorongnya berbentuk berdiri dari atas ke
bawah, kedalamannya dapat mencapai 100 meter. Goa ini disebut PHOTOLING.
2. Horizontal Caves
Goa yang lorongnya
berbentuk memanjang tetapi tidak 100% lurus begitu saja, namun terkadang
berbelok-belok dan juga naik turun, goa jenis ini biasa disebut PRHEATIC.
b. SPELEOLOGI
Spelelologi berasal dari bahasa latin yang terdiri
atas dua kata, yakni SPELAION yang artinya GOA dan LOGOS yang berarti ilmu.
Sehingga dapat diartikan bahwa Speleologi adalah ilmu pengetahuan yang
mempelajari segala aspek tentang goa beserta lingkungannya, baik fisik beserta
maupun biologis.
Bila berbicara tentang goa, maka di dalamnya banyak
sekali terdapat disiplin ilmu, diantaranya Geologi, Biologi, Arkeologi,
Hidrologi, Ekologi, Pemetaan Goa, Sedimentologi, dan sebagainya. Orang yang
mempelajari Speleologi disebut juga SPELEOLOGIST atau SPELUNKERS. Sebenarnya
pendidikan resmi tentang Speleologi tidak ada, jadi ahli speleologi secara
akademis juga tidak ada.
Selain Ceospeleologi
yang mempelajari goa dari aspek terjadinya, kita juga harus tahu apa yang
dimaksud dengan Biospeleologi yang
mempelajari kehidupan di dalam goa. Binatang yang hidup di dalam goa
diklasifikasikan menjadi 3 golongan menurut derajat ketergantungan binatang
tersebut dari kondisi goa, yakni:
1) Trogloxenes (cave
visitor)
Adalah binatang yang hidup di dalam goa yang sifatnya hanya pendatang saja,
contoh: kupu-kupu, udang-udangan, kelelawar, dsb
2) Troglophiles (cave
guest)
Adalah binatang yang mencintai goa, sifatnya hanya sebagai tamu, lalu
selamanya hidup di dalam kegelapan, misalnya: salamander, cacing, crustachea,
kupu-kupu, (binatang yang pigmennya sudah berkurang). Binatang dari kedua
golongan ini hidup disekitar mulut goa.
3) Troglobites (cave
dwellers)
Binatang jenis ini
adalah binatang yang hidupnya menetap di dalam goa, biasanya tidak memiliki
mata atau buta, misalnya: Ikan Goa, salamander, insecta seperti jangkrik yang
mempunyai badan lebih panjang dari sejenisnya atau orang sunda sering
menyebutnya sebagai Gaang, dan binatang parasit seperti kutu-kutu yang dibawa
masuk oleh kelelawar. Binatang semacam ini hidup di kedalaman goa.
Pengertian
dan Sejarah Penelusuran Gua 'Caving' yakni Caving berasal
dari kata Cave= Gua. Sedangkan orang yang menelusuri gua disebut caver. Jadi
caving bisa diartikan sebagai kegiatan penelusuran gua yang mana merupakan
salah satu bentuk kegiatan dari Speleologi. Sedangkan Speleologi secara
morfologi berasal dari bahasa Yunani, yaitu : Spalion = Gua dan Logos = ilmu.
Jadi, secara harfiah Speleologi adalah Ilmu yang mempelajari tentang gua,
tetapi karena perkembangan speleologi itu sendiri, spleologi juga mempelajari
tentang lingkungan disekitar gua.
Ada Beberapa Pengertian Penelusuran Gua "Caving' menurut para ahli Penemu mamupun para Caver, yakni :
- Menurut IUS (International Union of Speleology) anggota komisi X UNESCO PBB : “Gua adalah setiap ruang bawah tanah yang dapat dimasuki orang”.
- Menurut R.K.T.ko (Speleologiawan) : “Setiap ruang bawah tanah baik terang maupun gelap, luas maupun sempit, yang terbentuk melalui system percelahan, rekahan atau aliran sungai yang membentuk suatu lintasan aliran sungai dibawah tanah.”
Adapun Sejarah
Penelusuran Gua 'Caving', yang dimulai dari tahun ke tahun, yakni :
- Penelusuran Gua dimulai oleh John Beaumont, ahli bedah dari Somerset, England (1674) ia seorang ahli tambang dan geologi amatir.
- Orang yang paling berjasa mendeskripsikan gua-gua antara tahun 1670-1680 adalah Baron Johann Valsavor dari Slovenia. Ia mengunjungi 70 goa, membuat peta, sketsa dan melahirkan buku setebal 2800 halaman.
- Joseph Nagel, pada tahun 1747 berhasil memetakan system perguaan di kerajaan Astro-Hongaria.
- Stephen Bishop, pemandu wisata gua yang paling berjasa dan membawa gua Mammoth diterima UNICEF sebagai warisan dunia.
2.2.2
PROSES TERBENTUKNYA GOA
Gua adalah suatu lubang di
tanah, atau di batuan, atau di gunung yang terbentuk secara alamiah. Jadi
bentukan-bentukan seperti gua yang dibuat manusia sebenarnya tidak dapat
dikelompokan sebagai gua, tapi lebih tepat sebagai suatu terowongan.
Gua adalah suatu bentukan alam yang
umumnya terjadi akibat adanya suatu proses alam yang melubangi batuan. Bisa
berbentuk suatu lorong yang panjang, gelap dan berkelok-kelok, tetapi dapat
pula sebagai suatu ceruk dalam. Secara umum dikenal terjadi pada dua batuan
yang jauh berbeda, yaitu pada batu gamping yang sangat intensif dan luas
kejadiannya, dan pada kasus-kasus khusus di aliran lava basalt, tetapi dapat
pula terjadi pada semua jenis batuan yang mengalami tingkat abrasi / erosi yang
kuat melewati struktur-struktur tertentu.
2.2.3
TEORI KLASIK MENGENAI PERKEMBANGAN
PERGUAAN menurut Reeder, (1988)
Banyak debat intensif yang terjadi
selama abad ini yang menyangkut ilmu pengetahuan geomorfologi yang berhubungan
dengan asal muasal gua di batu gamping. Apakah gua terbentuk diatas water
table (zona vadose), dibawah water table (zona
phreatic), atau pada bidang dari water table itu sendiri? Beberapa teori
dapat dikelompokkan sebagai berikut:
- Teori Vadose-Dwerry house (1907), Greene (1908), Matson (1909), dan Malott (1937) mempertahankan bahwa sebagian besar perkembangan gua berada di atas water tabel dimana aliran air tanah paling besar. Jadi, aliran air tanah yang mengalir dengan cepat, yang mana gabungan korosi secara mekanis dengan pelarutan karbonat, yang bertanggung jawab terjadap perkembangan gua. Martel (1921) percaya bahwa begitu pentingnya aliran dalam gua dan saluran (conduit) begitu besar sehingga tidak berhubungan terhadap hal terbentuknya gua batu gamping sehingga tidak relevan menghubungkan batugamping yang ber-gua dengan dengan adanya water table, dengan pengertian bahwa permukaan tunggal dibawah keseluruhan batuannya telah jenuh air.
- Teori Deep Phreatic-Cjivic (1893), Grund (1903), Davis (1930) dan Bretz (1942) memperlihatkan bahwa permulaan gua dan kebanyakan pembesaran perguaan terjadi di kedalaman yang acak berada di bawah water table, sering kali pada zona phreatic yang dalam. Gua-gua diperlebar sebagai akibat dari korosi oleh air phreatic yang mengalir pelan. Perkembangan perguaan giliran kedua dapat terjadi jika water table diperrendah oleh denudasi (penggundulan) permukaan, sehingga pengeringan gua dari air tanah dan membuatnya menjadi vadose dan udara masuk kedalam gua. Selama proses kedua ini aliran permukaan dapat masuk ke sistem perguaan dan sedikit merubah lorong gua oleh korosi.
- Phreatic Dangkal atau Teori Water Table-Swinnerton (1932), R Rhoades dan Sinacori (1941), dan Davies (1960) mendukung gagasan bahwa air yang mengalir deras pada water tabel adalah yang bertanggungjawab terhadap pelarutan di banyak gua. Eleveasi dari water table berfluktuasi dengan variasi volume aliran air tanah, dan dapat menjadi perkembangan gua yang kuat didalam sebuah zone yang rapat diatas dan dibawah posisi rata-rata. Betapapun, posisi rata-rata water table harus relatif tetap konstan untuk periode yang lama. Untuk menjelaskan sistem gua yang multi tingkat, sebuah water table yang seimbang sering dihubungkan dengan periode base levelling dari landscape diikuti dengan periode peremajaan dengan kecepatan down-cutting ke base level berikutnya.
2.2.4
GUA PADA BATU GAMPING, KAWASAN KARST
Dari seluruh proses kejadian
terbentuknya gua, yang paling luas dan intensif adalah gua-gua yang terbentuk
pada formasi batu gamping yang umumnya kemudian berkembang menjadi suatu
bentang alam khas yang dikenal sebagai bentang alam kars (karst, istilah
internasional, berasal dari bahasa Jerman yang diperkenalkan oleh Cvijic pada
sekitar tahun 1850 dari istilah asli bahasa Slavia krs atau kras setelah ia
meneliti suatu daerah gersang di Slovenia/dulu Yugoslavia, timur laut
Trieste). Hampir semua goa yang ada dibentuk dari karst (dari bahasa
Slavia Krs/Kras yang berarti batu-batuan). Istilah karst dipakai untuk suatu
kawasan batu gamping (limestone) yang telah mengalami pelarutan sehingga
menimbulkan relief dan pola pengaliran yang khas. Hal ini dicirikan dengan
adanya proses geokimia dan kehadiran atmosfer, biosfer, dan hidrosfer
sekaligus.
Sejarah geologi karst dimulai pada
zaman karbon (sebutan untuk sebuah masa di 354-290 juta tahun lalu) akhir,
hingga Perm (290-248 juta tahun lalu) awal yang menimbulkan batuan tertua. Umumnya
pada akhir masa Perm awal, terjadi aktivitas tektonik berupa pengangkatan dan
pelipatan satuan sabak serta timbulnya sesar mendatar. Pada zaman Trias
(248-206 juta tahun lalu) awal, terjadi proses susut laut yang membentuk
morfologi batu gamping. Ini akan diikuti dengan intrusi ke permukaan yang
menerobos batu gamping, hingga mengakibatkan batu gamping menjadi marmer.
Akibat proses gaya-gaya geologi yang berpengaruh, akan terbentuk struktur
rekahan yang disebut diaklas, yakni jalur resapan air permukaan dan membentuk
morfologi karst. Hal ini akan terus terjadi, entah sampai kapan berakhirnya.
Mengapa pembentukan gua sangat intensif di kawasan kars yang batuannya
didominasi batu gamping / batu kapur / limestone? Hal ini sangat terkait dengan
sifat batu gamping yang unsur utamanya adalah karbonat CaCO3 yang sangat
reaktif terhadap larutan asam, khususnya larutan senyawa asam yang mengandung
CO2. Walaupun secara kimiawi prosesnya sangat rumit dan kompleks, tetapi proses
pelarutan batu gamping secara sederhana mengikuti persamaan reaksi berikut:
CaCO3 + H2O + CO2 Ca+ 2HCO3
Proses dengan panah bolak-balik
tersebut menunjukan bahwa air yang mengandung senyawa asam CO2 akan melarutkan
karbonat menjadi kalsium dan bikarbonat. Reaksi balik dari kanan ke kiri akan
kembali menghasilkan karbonat. Maka selain adanya proses pelarutan yang membawa
partikel karbonat sehingga terjadi pelubangan dan pengguaan pada batu gamping,
di tempat lain terjadi proses pengendapan karbonat berikutnya. Ini menerangkan
proses selain terbentuknya gua itu sendiri, juga terbentuknya hiasan-hiasan gua
(stalactite, stalagmite, flowstone, guardam, dll) yang merupakan hasil endapan
karbonat dari pelarutan karbonat di tempat lain.
Namun demikian tidak sembarang batu
gamping dan tidak sembarang tempat bisa membentuk gua. Gua batu gamping (yang
berlorong panjang dan berliku-liku) umumnya berkembang akibat adanya proses
pelarutan dan diperbesar oleh proses erosi / abrasi yang mengikuti suatu
jaringan retakan pada batu gamping. Sebelumnya, faktor iklim, tanah penutup dan
keberadaan air tanah menjadi kontrol utama proses pengguaan ini. Selain itu
batu gampingnya sendiri umumnya harus padat, murni karbonat dengan sedikit
campuran partikel lain, berlapis baik dan dalam kedudukan mendatar / tidak
miring terjal. Kondisi ideal di atas merupakan kondisi ideal bagi berkembangnya
perguaan dan biasanya berkembang menjadi kawasan kars tyang luas. Contoh daerah
yang mempunyai kondisi ideal tersebut antara lain di Pangandaran, Jawa Barat ;
Karangbolong, Gombong Selatan di Jawa Tengah ; Gunung Sewu yang sangat luas
mulai dari Yogyakarta, selatan Wonogiri Jawa Tengah hingga Pacitan di Jawa
Timur, yang kemudian bahkan menerus ke Tulungagung dan Blitar. Di Sumatra
kawasan kars cukup luas berada di Payakumbuh hingga Sawahlunto, di Kalimantan
terdapat di Sangkurilang, Kalimantan Timur bagian utara, Sulawesi Selatan di
Maros dan Toraja, serta di berbagai tempat di Papua.
2.2.5
GUA PADA LAVA BASALT
Lain lagi Pembentukan gua pada batu
basalt aliran lava. Proses ini tidak ada kaitannya dengan reaksi kimia, tetapi
lebih terkait dengan proses aliran magma yang encer-panas-membara yang keluar
dari kawah gunung api. Ketika magma keluar dari kawah, ia akan mengalir di
permukaan menuruni lembah sebagai aliran lava (ingat …!!! bedakan dengan lahar
yang merupakan banjir bandang dari lereng gunung api). Tentu saja aliran lava
ini masih sangat panas membara dalam suhu sekitar 1000oC. Tetapi ketika keluar,
segera lava ini kontak dengan suhu udara normal dan lava mulai membeku. Bagian
yang membeku dan mengeras lebih dulu adalah bagian permukaan, sementara bagian
dalam masih bisa mengalir ke arah lereng bawah. Maka ketika seluruh bahan lava
yang masih mengalir di bagian dalam keluar di lereng bawah, akan menyisakan
lubang yang di batasi oleh lapisan lava yang mengeras lebih dahulu di
permukaan.
Proses gua pada lava biasanya
terjadi pada magma yang bersifat encer, umumnya magma basalt yang ketika
mengeras menjadi batu berwarna hitam. Jarang sekali gua terbentuk pada lava
andesit yang lebih kental, karena begitu magma andesit keluar dari kawah gunung
api, begitu pula ia membeku dan mengeras. Namun demikian lorong-lorong pendek
yang sempit dan tidak beraturan bisa terbentuk pada bongkah-bongkah lava yang
umumnya terjadi pada bagian lereng bawah suatu gunung api. Contoh gua-gua lava
yang terkenal berada di Kepulauan Hawaii, sebagian malah berada di bawah laut.
Di Indonesia diketahui ada di Purworejo di Gua Lawa.
2.2.6
GUA ABRASI
Gua akibat proses erosi atau abrasi
bisa terjadi pada berbagai batuan, tetapi umumnya terjadi pada batuan keras dan
padat yang membentuk lereng-lereng terjal di tepi pantai dengan gelombang
besar. Gelombang yang setiap saat menghantam tebing batu menciptakan proses
erosi yang luar biasa yang sedikit demi sedikit mencungkil partikel-partikel
pada batu. Lama-lama semakin besar semakin dalam, bahkan bisa tembus pada sisi
yang lain. Kondisi struktur geologi berupa retakan yang menjadi zona lemah akan
menjadi faktor pertama pembentukan gua abrasi. Nama-nama geografi di pesisir
yang bernama karang bolong adalah gua-gua yang terbentuk akibat proses abrasi
gelombang ini.
PENGERTIAN GOA
DAN SPELEOLOGI
Speleologi
berasal dari bahasa Yunani, spelaion = goa dan logos = ilmu
sehingga speleologi merupakan ilmu yang mempelajari tentang goa-goa. Goa
merupakan bentukan alami yang tidak bisa terlepas atau berdiri sendiri dari
lingkungannya sehingga speleologi merupakan ilmu tentang goa dan lingkungannya.
Menurut IUS (International Union of Speleology), cave atau goa
yaitu setiap ruang bawah tanah yang dapat ditelusuri/dimasuki manusia. Oleh
karena itu, caving adalah suatu kegiatan yang dilakukan oleh manusia terhadap
goa dan lingkungan goa. Ada tiga istilah yang sering digunakan oleh para
penelusur goa yaitu speleologi (sering digunakan oleh orang Eropa), spelunking
(oleh orang Amerika) sedangkan caving (oleh orang Inggris). Namun, di
Indonesia istilah yang paling populer untuk sebutan Penelusuran Goa adalah Caving,
sedangkan orang yang berkecimpung didalamnya disebut sebagai Caver.
2.2.7
PROSES
TERBENTUKNYA GOA
Sampai
saat ini ada berbagai macam teori tentang bagaimana goa karst terbentuk.
Menurut W. M. Davis (1930) goa pertama kali dibentuk didalam zone freatik
dibawah permukaan tanah. Menurut Lehman (1932) bahwa goa mulai terbentuk
setelah ada ruangan pemula. Beberapa teori yang lainnya menyatakan bahwa
terjadinya goa dimulai pada saat terjadinya pelebaran rekahan oleh proses
pelarutan (solusional). Proses pembentukan goa tersebut membutuhkan waktu yang
sangat lama (jutaan bahkan ratusan juta tahun), sehingga speleogenesis hanya
dapat diterangkan secara teoritis. Teori tentang terbentuknya goa memang masih
dalam perdebatan, namun dari berbagai macam teori tersebut, ada beberapa yang
dapat diterima dan dipakai secara umum. Teori tersebut dikenal dengan teori
klasik pembentukan goa walaupun kini banyak bermunculan teori modern yang
menyanggah teori klasik tersebut. Secara umum, ada 3 teori yang umum digunakan
yaitu Vadose Theory, Deep Phreatic Theory dan Watertable Theory.
Vadose Theory
Menyatakan
bahwa goa terbentuk akibat aliran air yang melewati rekahan-rekahan pada batuan
gamping yang berada diatas permukaan air tanah.Teori Vadose ini banyak didukung
oleh Dwerry house (1907), Greene (1908), Matson (1909), dan Malott (1937) yang
mempertahankan bahwa sebagian besar perkembangan gua berada di atas watertable
dimana aliran air tanah paling besar. Jadi, aliran air tanah yang mengalir
dengan cepat, yang mana gabungan korosi secara mekanis dengan pelarutan
karbonat, yang bertanggung jawab terjadap perkembangan gua. Martel (1921)
percaya bahwa begitu pentingnya aliran dalam gua dan saluran (conduit) begitu
besar sehingga tidak berhubungan terhadap hal terbentuknya gua batu gamping
sehingga tidak relevan menghubungkan batugamping yang ber-gua dengan dengan
adanya water table, dengan pengertian bahwa permukaan tunggal dibawah
keseluruhan batuannya telah jenuh air.
Vadose Theory
a. Deep Phreatic Theory
Menyebutkan
goa terbentuk dibawah permukaan air tanah dimana pada rekahan-rekahan terbentuk
goa akibat proses pelarutan. Teori Deep Phreaticini banyak dianut oleh Cjivic
(1893), Grund (1903), Davis (1930) dan Bretz (1942) yang memperlihatkan bahwa
permulaan gua dan kebanyakan pembesaran perguaan terjadi di kedalaman yang acak
berada di bawah water table, sering kali pada zona phreatic yang dalam. Gua-gua
diperlebar sebagai akibat dari korosi oleh air phreatic yang mengalir pelan.
Perkembangan perguaan giliran kedua dapat terjadi jika water table diperrendah
oleh denudasi (penggundulan) permukaan, sehingga pengeringan gua dari air tanah
dan membuatnya menjadi vadose dan udara masuk kedalam gua. Selama proses kedua
ini aliran permukaan dapat masuk ke sistem perguaan dan sedikit merubah lorong
gua oleh korosi.
Deep Phreatic
Theory
b. Watertable theory
Menyatakan
goa terbentuk dekat dan diatas permukaan airtanah sesuai dengan turunnya
permukaan airtanah. Teori Water Table dianut oleh Swinnerton (1932), R Rhoades
dan Sinacori (1941), dan Davies (1960) mendukung gagasan bahwa air yang
mengalir deras pada water tabel adalah yang bertanggungjawab terhadap pelarutan
di banyak gua. Eleveasi dari water table berfluktuasi dengan variasi volume
aliran air tanah, dan dapat menjadi perkembangna gua yang kuat didalam sebuah
zone yang rapat diatas dan dibawah posisi rata-rata. Betapapun, posisi
rata-rata watertable harus relatif tetap konstan untuk periode yang lama. Untuk
menjelaskan sistem gua yang multi tingkat, sebuah water table yang seimbang
sering dihubungkan dengan periode base levelling dari landscape diikuti dengan
periode peremajaan dengan kecepatan down-cutting ke base level berikutnya.
Watertable
Theory
Beberapa
faktor yang mempengaruhi terbentuknya goa adalah fisiografi regional, sistem
percelahan-rekahan, struktur dari batuan karbonat, tektonisme setempat, sifat
petrologi dan kimiawi batuan karbonat, volume air yang melalui, jenis dan
jumlah sedimentasi, runtuhan, iklim masa kini dan masa lalu, vegetasi diatas
lorong, bentuk semula dari goa tersebut dan tindakan manusia.
2.3 Goa Pawon
Gua Pawon
adalah sebuah tempat yang penting bagi orang Sunda karena di sana pernah
ditemukan kerangka manusia purba yang konon adalah nenek moyang orang Sunda
(masih diteliti di balai Arkeolog Bandung). Gua ini sebenarnya adalah sebuah
situs purbakala yang terletak di Desa Gunung Masigit, Kecamatan Cipatat,
Padalarang, Kabupaten Bandung Barat, atau sekitar
25 km arah barat Kota Bandung.
Terletak di 601 m dpl, Goa Pawon berada di puncak bukit Pawon yang
merupakan daerah penambangan batu kapur, dan pada zaman dahulu merupakan
tepian Danau Bandung Purba.
Namun sayangnya
popularitas Gua Pawon sendiri sebagai sebuah tempat wisata kalah dengan
tempat-tempat wisata lainnya yang berada di sekitar Bandung. Misalanya saja
oleh Kawah Putih, Tangkuban Perahu ataupun Situ Cibutur yang berada di
dekatnya. Jadi bagi yang tinggal di daerah Bandung atau pun yang sering
berdomisili di Jatinagor seperti kami, kami sarankan untuk berkunjung ke Gua
Pawon ini.
Untuk ke Gua
Pawon, khusunya untuk yang berdomisili di Bandung atau Jatinangor, sebenarnya
tidaklah sulit dan tidak memerlukan biaya yang besar. Kita tinggal naik bus
jurusan Jakarta, Cianjur atau Bogor yang melewati Padalarang.
Setelah itu
turun di di jalan raya Bandung - Cianjur, tepatnya di daerah Citatah. Tidak
sulit ditemukan karena di pinggir jalannya ada plang bertuliskan ’Situs
Sejarah Gua Pawon’. Semoga saat teman-teman pas kesana plangnya tidak
sedang ambruk. Letaknya tidak jauh setelah melewati Situ Ciburuy. Kalau sama
sekali tidak tahu kawasan ini, bisa minta tolong pada kernet bisnya. Ongkos
yang harus dikeluarkan juga tidak terlalu mahal. Saat itu kami naik dari
Cileunyi dan diharuskan membayar Rp 7.000, mungkin kalau dari Bandung antara Rp
20.000 - Rp 25.000.
Setelah sampai
di plang tersebut ada sebuah belokan berupa sebuah jalan panjang yang tidak
terlalu besar hanya saja jalanya sudah rusak cukup parah. Mungkin karena
banyaknya truk pengangkut batu kapur yang sering pulang pergi lewat jalan itu.
Sebenarnya untuk sampai ke Gua Pawon dari jalan tersebut, mempunyai dua
pilihan. Pertama, naik ojeg dengan tarif sekitar Rp 10.000,- atau jika ingin
merasakan perjalanan yang lebih seru, sebaiknya jalan kaki saja, karena pemandangan
yang ditawarkan juga cukup cantik.
Bila ingin
berjalan kaki, maka akan menempuh jalan yang berbatu-batu, menanjak dan jauh.
Di tambah lagi matahari yang menyengat. Tapi semua itu akan terbayar karena
sambil berjalan, bisa merasakan hembusan angin segar dan indahnya tebing di
karst Citatah yang meneluarkan semburat emas terekena sinar matahari.
Dalam
perjalanan ini, harus banyak bertanya pada warga sekitar karena sama sekali
tidak ada papan petunjuk jalan untuk menuju ke Gua Pawon. Setelah berjalan
cukup lama dan melewati beberapa tanjakan serta turunan ditambah jalan tanah
merah becek barulah sampai di mulut Gua Pawon.
Selain menuju
ke Gua Pawon, yang datang ke sini juag bisa memanjat teving di karst Citatah
ataupun ke Gunung Masigit, karena kami pun sempat melihat beberapa orang yang
sepertinya adalah pecinta alam sedang memanjat tebing.
Indah, eksotis
dan misterius. Mungkin itulah kata-kata yang bisa menggambarkan Saat kami
sampai ke Gua Pawon. Saat itu kami jadi ingin cepat-cepat masuk ke sana. Sayangnya
harus siap-meliahat banyak sekali coretan-coretan pilox yang mengotori plang
nama gua tersebut maupun dinding-dinding disekitarnya.
Atap Gua Pawon
terdapat lubang tempat masuknya cahaya selain dari mulut gua. (Foto dari:
budiheran.multiply.com)
Di daerah
Padalarang, lebih lengkapnya di kawasan karst atau batu kapur Citatah, di Desa
Gunung Masigit, Kecamatan Cipatat, Kabupaten Bandung Barat. Jaraknya sekitar 25
kilometer dari pusat Kota Bandung. Jawa Barat, Indonesia terdapat gua purba
dengan seluas lebih dari 300 meter persegi. Di dalamnya terdiri dari beberapa
rongga seperti kamar, juga beberapa jendela alami yang besar. Sehingga gua itu
cukup terang oleh sinar matahari. Jalur jalannya seperti labirin dan menanjak
mengarah ke tempat kuburan manusia purba berada, dan gua purba ini bernama Gua
Pawon.
Letak Gua Pawon
pada jaman dulu diasumsikan berada di tepian Danau Bandung Purba. Berdasarkan
hasil survai A.C. De Yong dan G.H.R. Von Koenigswald tahun 1930-1935,
ditemukan alat-alat budaya masa lalu dari bahan obsidian, kalsidon, kwarsit,
rijang dan andesit berupa anak panah, pisau, penyerut, gelang batu, batu asah
dari Jaman Preneolitik, yang hidupnya mulai menetap di gua-gua atau ceruk atau
sering kali dijumpai di kawasan perbukitan gamping.
Goa Pawon memiliki panjang 38 m dan lebar 16 m, sedang tinggi atap
gua tidak dapat diketahui secara pasti karena saat ditemukan bagian atap gua
sudah runtuh. Lantai gua hanya tersisa sebagian kecil di sisi barat karena
sudah digali oleh masyarakat setempat untuk pengambilan fospat dengan kedalaman
4-5 m. Sedangkan lantai bagian tengah tertimbun oleh bongkahan runtuhan atap,
sebagian besar sudah tererosi, sehingga membentuk lereng yang cukup terjal.
Hasil ekskavasi pada tahun 2003 dan 2004 berhasil ditemukan
berbagai bentuk artefak, fitur maupun ekofak yang dapat mencirikan akan
keberadaan situs tersebut dimasa lalu. Artefak yang terdiri dari pecahan
keramik, gerabah, alat serpih, alat tulang berbentuk lancipan dan spatula, alat
batu pukul (perkutor), sisa perhiasan yang terbuat dari gigi binatang dan gigi
ikan, moluska dan temuan yang sangat signifikan dari keberadaan kehidupan
masa lalu berupa kerangka manusia. Selain itu juga ditemukan non artefaktual
seperti fragmen tulang dan moluska. Keberadaanya di Goa Pawon besar
kemungkinan terjadi karena adanya kaitan rantai makanan yang pernah terjadi di
masa lalu, dalam hal ini sebagai bagian dalam pemenuhan kebutuhan bahan makanan
(konsumsi) dan mungkin juga untuk dipergunakan dalam pembuatan peralatan hidup
sehari-hari.
Berdasarkan
analisis geologi, proses runtuhnya atap Gua Pawon berawal dari terbentuknya
mata air di tepian Cekungan Bandung Purba yang kemudian diikuti proses pelarutan
yang membentuk lubang pada gua yang semakin besar dan akhirnya membuat
langit-langit gua runtuh. Setelah atap gua runtuh dan sebagian gua kopi
terbuka, peristiwa hujan abu gunungapi dari letusan dahsyat G. Sunda atau G.
Tanguban Parahu memungkinkan mengisi lantai guanya.
Di puncak
Pr.Pawon terdapat gejala mikro-karst yang membentuk bongkah-bongkah menonjol
dari permukaan tanah yang menjadikan puncak bukit ini sebagai taman batu (Stone
Garden). Proses pelarutan yang berjalan pada retakan-retakan batugamping
menyembulkan sisa-sisa pelarutannya berupa bongkah batu gamping yang tersusun
dengan tidak teratur dan tinggi yang berbeda-beda dan berelief kasar
Di
bagian bawah ruang Gua Pawon, terdapat satu ruang gua lagi yang terletak
memanjang dengan orientasi utara selatan, dengan bagian mulut berada di sisi
sebelah utara. Di bagian depan gua tumbuh rumpun bambu yang cukup lebat dan
pohon yang cukup besar sehingga mengakibatkan pencahayaan ke bagian dalam gua
berkurang.
Pada penelitian
berikutnya, lokasi tersebut tenyata menyimpan kerangka manusia purba, yang kini
bisa kita temui di sisi utara gua dan dipagari. Di sana terdapat sosok
berupa tulang manusia yang sedang meringkuk, dan itu hanyalah replika hasil
cetakan. Karena kerangka manusia aslinya sendiri telah dibawa dan diamankan di
pusat arkeologi Bandung yang terletak di daerah Cileunyi. Kerangka aslinya
sendiri hanya tinggal tersisia tempurung kepala dan beberapa tulang iga serta
rahang bawah. Hal ini di sebabkan karena keadaan artefak yang telah rapuh.
Kerangka
pertama di temukan oleh mahasiswa ITB dan peneliti dari LIPI, berbekal hipotesa
bahwa kahidupan prasejarah banyak berpusat di gua, mereka pun akhirnya
menemukan kerangka tersebut. Kerangka selanjutnya ditemukan dalam penggalian
lanjutan oleh Balai Arkeologi pada Juli 2003 hingga penggalian 2009. Dari satu
kerangka awal, kemudian ditemukan beberapa kerangka lainnya dengan total lima
kerangka individu. Setelah diteliti, umurnya diperkirakan sudah 7.000 tahun.
Peneliti juga memastikan kerangka itu berkelamin pria dan wanita. Usia mereka
berkisar 17-35 tahun dengan gigi lengkap.
Dengan temuan
tersebut, diperkirakan manusia purba tersebut telah menghuni gua pawon sejak
9000 tahun yang lalu. Manusia purba ini tinggal, makan dan berburu disekitar
gua ini. Mereka banyak mengahabiskan hidup dengan menikmati segala hasil yang
ada di gua ini, konon itu lah yang menyebabkan usia manusia purba di gua
ini tidak berumur panjang.
Berdasar hasil
penelitian dan rekonstruksi sejarah, Mayat manusia purba diperlakukan dengan
dua cara oleh kelompok atau keluarganya. Pertama, diletakkan di atas permukaan
tanah dalam posisi tubuh ditekuk seperti janin atau lurus. Setelah membusuk dan
tinggal kerangka, kemudian dilumuri hematit atau butiran tanah merah. Setelah
itu mayat baru dikuburkan. Pelumuran tanah merah ini dimaksudkan agar kerangka
ketika di kuburkan tidak rusak.
Selain kerangka
manusia purba. hasil ekskavasi pada tahun 2003 dan 2004 berhasil menemukan
berbagai bentuk artefak, fitur maupun ekofak yang dapat mencirikan keberadaan
situs budaya peninggalam manusia purba tersebut di masa lalu. Artefak yang
ditemukan di gua Pawon terdiri dari pecahan keramik, gerabah, alat serpih, alat
tulang berbentuk lancipan dan spatula, alat batu pukul (perkutor), sisa
perhiasan yang terbuat dari gigi binatang dan gigi ikan, moluska dan temuan
yang sangat signifikan dari keberadaan kehidupan masa lalu berupa
kerangka manusia.
Selain itu juga
di gua pawon ditemukan peninggalan budaya manusia non artefaktual seperti
fragmen tulang dan moluska. Keberadaanya di Gua Pawon besar kemungkinan terjadi
karena adanya kaitan rantai makanan yang pernah terjadi di masa lalu, dalam hal
ini sebagai bagian dalam pemenuhan kebutuhan bahan makanan (konsumsi) dan
mungkin juga untuk dipergunakan dalam pembuatan peralatan hidup sehari-hari.
Keberadaan
manusia purba yang hidup di gua pawon di sinyalir hidup ketika zaman berburu
dan meramu, ketika manusia purba kala itu telah mulai menetap dan mengolah
hasil buruannya. Pernyataan teori tersebut dibuktikan dengan ditemukannya
beberapa alat seperti gerabah, pisau dari tulang serta manik manik dan
perhiasan.
Namun sungguh
disayangkan, keberadaan gua pawon hari ini terancam rusak karena adanya
kegiatan (oknum) perusahaan penambangan batu kapur yang tidak terkontrol dan
tidak ramah lingkungan, beberapa bagian gua telah ada yang runtuh dan beberapa
artefak prasejarah ikut terkubur bersamanya. Kondisi tersebut seolah
mencerminkan sikap ketidak pedulian kita dan pemerintah terhadap hasil temuan
dan tinggalan arkheologi yang penting untuk terus dipelajari. Sangat
disayangkan jika terus dibiarkan seperti itu.
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Observasi
Dalam bab speleologi yang terdapat pada mata
kuliah geomorfologi kami melakukan penelitian yang bersifat observasi lapangan
ke Goa Pawon di Padalarang Jawa Barat.
Pada penelitian kali ini kami mengkaji mengenai bentukan bentukan yang terdapat
di dalam goa Pawon serta vegetasi yang berada di sekitar goa tersebut.
Observasi tersebut yaitu:
3.2 Setting
Penelitian
a) Waktu
Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada hari senin dan
selasa tanggal 17 sampai 18 juni 2013. Desa Cipatat, Kecamatan Padalarang,
Bandung
b) Tempat Penelitian
Penelitian dilaksanakan di goa pawon Padalarang
Jawa Barat. Dengan letak strategi berada di kawasan daerah kapur.
c) Subyek Penelitian
Subyek penelitian ini adalah bentukan bentukan
yang terdapat di dalam dan di luar goa Pawon serta vegetasi yang terdapat di
daerah goa Pawon.
3.3 Tehnik Dan Alat Pengumpulan Data
a. Teknik
Pengumpulan Data
- Observasi
Observasi dalam penelitian ini dilakukan oleh
peneliti yang didampingi oleh dosen pembimbing. Observasi dalam penelitian ini
adalah observasi langsung yaitu penelitian dan pengamat melihat dan mengamati
secara langsung, kemudian mencatat perilaku dan kejadian yang terjadi pada
keadaan sebenarnya pada saat itu.
Observasi dilakukan selama proses penelitian
dari kegiatan awal sampai kegiatan akhir. Kegiataan pertama yang dilakukan
adalah pengamatan terhadap bentukanbentukan yang terdapat pada gua paowon itu
sendiri dan kemudian dilanjutkan dengan materi yang di berikan oleh dosen
pembimbing dan tahap terakhir adalah dokumentasi. Dalam observasi ini
penelitian lebih banyak mengamati bentukan bentukan yang terdapat di daerah goa
pawon serta vegetasinya. Observasi ini mempunyai keterbatasan dalam menggali
data karena waktu yang digunakan untuk observasi terbatas . Untuk itu
diharapkan untuk observasi berikutnya waktu yang digunakan akan lebih panjang
lagi.
2.
Lembar observasi
Lembar observasi atau kuesioner yang sifatnya
open euded (terbuka) dan lentur, sehingga dapat menggali data sesuai dengan
tujuan yang telah ditetapkan
3.
Pedoman wawancara
Teknik wawancara dilakukan dengan akrab dan
terbuka serta mendalam, dengan ini diharapkan dapat menangkap informasi secara
utuh oleh karena itu, teknik wawancara itu sering disebut wawancara mendalam
(in-depth-interviewing (HB. Sutopo, 2002)
4.
Validasi Data
Data yang telah berhasil digali, dikumpulkan
dan dicatat dalam kegiatan penelitian, harus di usahakan kemantapan
kebenarannya. Oleh karena itu, setiap peneliti harus dapat memilih dan
menentukan cara – cara yang tepat untuk mengembangkan valisasi data yang diperolehnya
yakni dengan teknik triangulasi (HB. Sutopo, 2002)
Berkaitan dengan proses pembelajaran yang
menekankan pada mengelompokkan bentuk – bentuk geometri dalam pembelajaran,
maka validasi data yang digunakan adalah melalui triangulasi sumber dan
triangulasi metode.
5.
Triangulasi Sumber
Triangulasi sumber sering juga disebut
triangulasi data, maksudnya penelitian dalam pengumpulan data agar lebih dapat
dipercaya dengan menggunakan berbagai ragam sumber.
6.
Triangulasi Metode
Triangulasi metode maksudnya peneliti mengumpulkan
data sejenis dengan menggunakan metode yang berbeda. Dalam hal ini, peneliti
menggunakan metode observasi dan wawancara.
7.
Analisis Data
Setelah data mengenai tentang bentuk – bentuk
gambar dalam pembelajaran terkumpul, maka dianalisis.
Oleh karena teknik pengumpulan datanya
menggunakan observasi dan wawancara, maka analisis datanya menggunakan
observasi dan wawancara, maka analisis datanya merupakan analisis deskriptif
berdasarkan hasil observasi dan refleksi. Observasi berarti mengaati hasil mewarnai
anak sedangkan refleksi mengaitkan dengan waktu yang dicapai anak dalam
mewarnai gambar – gambar.
8.
Indikator Kinerja
Setelah siswa mengikuti pembelajaran dengan
mewarnai gambar. Indikator kinerja diharapkan sbb :
a. Minimal 80%
anak mampu melaksanakan tugas dengan baik ( • ) pada pengenalan gambar – gambar
dan warnanya
- Minimal 60% anak yang mampu melaksanakan tugas dengan cukup ( ü) pada evektivitas kegiatan
- Minimal kurang dari 20% anak yang kurang mampu melaksanakan tugas ( 0 ) pada kreatifitas mewarnai gambar.
9.
Prosedur Penilaian
- Penilaian ini dilakukan dengan menggunakan metode penelitian tindakan kelas terdiri atas 2 siklus
- Langkah – langkah dalam siklus penelitian tindakan kelas (Kemmis 1986)
Terdiri atas :
a.
Perencanaan
Dalam tahab perencanaan ini, peneliti menyusun
rencana program kegiatan penelitian tindakan kelas antara lain :
1) Penyusunan dan
pembuatan program satuan kegiatan harian (SKH)
2) Penyusun dan
pembuatan rencana pelajaran
3) Pemilihan
metode yang sesuai dengan materi pelajaran
4) Pemilihan
media yang sesuai dengan materi pelajaran
5) Penyusunan
instrument untuk mengetahui tingkat pencapaian belajar siswa
Observasi
Dalam pelaksanaan observasi, peneliti mengikut
sertakan rekan guru untuk ikut bertugas mengamati dan mencermati dan kemudian
memberikan penilaian dan saran – saran terhadap tindakan apa yang harus
dilakukan baik oleh guru maupun oleh anak yang dirasa kurang atau masih ada
yang perlu di tingkatkan.
Sedangkan langkah-langkah menjadi fokus
observasinya adalah :
1) Persiapan
mengajar
2) Pengelolaan
kelas
3) Keaktifan dan
kreatifitas anak
4) Penggunaan
metode
5) Penggunaan
media
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Morfologi
Gua Pawon
Penelitian
geomorfologi mengenai bahasan morfologi karst dan metode penghitungan
transekline yang dilakukan di kawasan gua pawon mendapatkan beberapa
hasil/temuan yang dapat di klasifikasikan berdasarkan bentukan-bentukan yang
ada pada gua karst pada umumnya.
Disana
ditemukan beberapa bentukan seperti:
1. Canopy , batu
yang menempel di dinding gua yang di tutupi kapur seperti kain
2.
Jendela gua, tempat
manusia purba melihat keadaan di sekeliling gua
3.
Gourdam, lantai gua
yang berbentuk kotak-kotak karena percikan air
4.
Chamber,
ruang gua yang luas
5.
Gordyn, proses
terjadinya hampir sama dengan stalagtit, hanya saja pembesarannya terjadi pada
sebuah celah (crack) yang memanjang pada atap gua, sehingga bentukan yang
tumpul menyerupai tirai-tirai seperti gorden jendela yang menggantung pada atap
menuju ke bawah dengan lekukan-lekukannya.
6.
Stalaktit, adalah batu
yang terbentuk di atap gua bentuknya meruncing kebawah.
Untuk bentukan seperti stalagmite yang biasa ditemukan pada
bentukan gua karst, namun pada saat penelitian tidak ditemukan bentukan
stalagmite dikarenakan banyaknya eksploitasi bentukan gua karst yang dilakukan
pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab.
a.
Data Transekline
no
|
pohon (10x10 cm)
|
sapling (5x5 m)
|
sedling (2x2 m)
|
||||||||
Species
|
D(cm)
|
species
|
D(cm)
|
Species
|
D (cm)
|
||||||
1
|
waru karst (1)
|
16cm
|
rumput (12)
|
1cm
|
tumbuhan paku (6)
|
|
|||||
2
|
waru karst
|
|
|
|
rumput (8)
|
|
|||||
3
|
waru karst
|
|
|
|
|
|
|||||
4
|
waru karst
|
|
|
|
|
|
|||||
note : 10 meter pertama
|
|||||||||||
no
|
pohon (10x10 cm)
|
sapling (5x5 m)
|
sedling (2x2 m)
|
||||||||
Species
|
D(cm)
|
Species
|
D(cm)
|
species
|
D (cm)
|
||||||
1
|
waru karst (2)
|
26cm
|
rumput (2)
|
2cm
|
rumput kecil (10)
|
|
|||||
|
|
|
|
|
|
|
|||||
|
|
|
|
|
|
|
|||||
note : 10 meter kedua
|
|||||||||||
no
|
pohon (10x10 cm)
|
sapling (5x5 m)
|
sedling (2x2 m)
|
|||
Species
|
D(cm)
|
Species
|
D(cm)
|
species
|
D (cm)
|
|
1
|
waru karst (6)
|
2cm
|
rumput (28)
|
1cm
|
rumput kecil (47)
|
|
2
|
pete cina (1)
|
3cm
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
note : 10 meter ketiga
|
BAB V
KESIMPULAN
Gua Pawon adalah sebuah
tempat yang penting bagi orang Sunda karena di sana pernah ditemukan kerangka
manusia purba yang konon adalah nenek moyang orang Sunda (masih diteliti di
balai Arkeolog Bandung). Gua ini sebenarnya adalah sebuah situs purbakala yang
terletak di Desa Gunung Masigit, Kecamatan Cipatat, Padalarang, Kabupaten
Bandung Barat, atau sekitar 25 km arah barat Kota Bandung.
Namun sayangnya popularitas
Gua Pawon sendiri sebagai sebuah tempat wisata kalah dengan tempat-tempat
wisata lainnya yang berada di sekitar Bandung. Misalanya saja oleh Kawah Putih,
Tangkuban Perahu ataupun Situ Cibutur yang berada di dekatnya.
Dari sisi geomorfologi, Gua Pawon merupakan bagian dari bentukan lahan karst.
Seperti gua-gua pada umumnya, di dalam Gua Pawon yang terletak di daerah
Citatah-Padalarang Kabupaten Bandung juga terdapat ornamen-ornamen gua yang
sangat beraneka ragam dan bernilai sejarah, budaya, dan estetis yang tinggi.
Di
dalam gua pawon ini ada yang disebut sebagai ruang utama atau kamar pertama.
Kamar pertama ini kecil dan digunakan sebagai tempat penyimpanan atau gudang.
Dan ada juga yang sering disebut sebagai ruang terakhir atau ruang tujuh. Ruang
ini digunakan untuk beristerihat atau tidur. Ruang ini juga sering digunakan
sebagai tempat mengawasi keadaan di luar sebelum melakukan aktifitas karena
terdapat lubang besar atau bisa disebut sebagai jendela alami
Bentuk
gua merupakan cikal bakal adanya konsep rumah modern seperti sekarang ini.
Awalnya manusia purba tinggal membuat tenda seperti saung-saung dari
daun-daunan. Namun, karena tidak tahan terhadap cuaca seperti angin dan hujan
maka manusia purba migrasi ke tempat lain. Mereka akhirnya memutuskan untuk
tinggal di gua. Mengapa demikian, karena gua tempatnya tertutup dan bisa
melindungi mereka dari angin, air, dan hewan-hewan buas. Lalu manusia purba
menetap di gua pawon dan berkehidupan di sana.
Di
dalam gua terdapat banyak stalaknit dan stalaktit dan stalakmit yang berarti
menunjukan bahwa gua itu terbuat dari tetesan air permukaan yang.mengandung
kapur atau batuan gamping dikarnakan tepat dia atas gua pawon terdapat stone
garden yang merupakan gunung batuan gamping.
Diatas gua pawon terdapat gunung batuan
gamping yang disebut kars Karst adalah sebuah bentukan di permukaan bumi yang
pada umumnya dicirikan dengan adanya depresi tertutup (closed depression),
drainase permukaan, dan gua. Daerah ini dibentuk terutama oleh pelarutan
batuan, kebanyakan batu gamping. Daerah karst terbentuk oleh pelarutan batuan
terjadi di litologi lain, terutama batuan karbonat lain misalnya dolomit, dalam
evaporit seperti halnya gips dan halite, dalam silika seperti halnya batupasir
dan kuarsa, dan di basalt dan granit dimana ada bagian yang kondisinya
cenderung terbentuk gua (favourable).
Selain sebagai bentang alam dengan kenampakan yang
memiliki nilai estetika, Gua Pawon juga didaulat menjadi kawasan cagar budaya.
Gua Pawon sebagai cagar budaya diidentifikasikan dengan ditemukannya fosil
manusia purba. Fosil tersebut dapat dilihat tidak terlalu jauh dari mulut gua.
Adapun fosil yang dapat kita lihat saat ini merupakan replikanya saja, karena
untuk fosil yang asli telah dipindahkan ke Museum Geologi Bandung.
Selain
sebagai bentang alam dengan kenampakan yang memiliki nilai estetika, Gua Pawon
juga didaulat menjadi kawasan cagar budaya. Gua Pawon sebagai cagar budaya
diidentifikasikan dengan ditemukannya fosil manusia purba. Fosil tersebut dapat
dilihat tidak terlalu jauh dari mulut gua. Adapun fosil yang dapat kita lihat
saat ini merupakan replikanya saja, karena untuk fosil yang asli telah
dipindahkan ke Museum Geologi Bandung.
Fosil
manusia purba tersebut diduga sebagai orang penting pada masanya, seperti
kepala suku, raja dan lain sebagainya. Hal itu disimpulkan dari sudut pandang
sejarah dan dan penelitian tentang manusia purba sebelumnya, yaitu dilihat dari
posisi dikuburkannya fosil tersebut dalam keadaan menekut, kedua tangan memeluk
lutut. Hingga saat ini, penemuan tersebut masih terus diteliti.
Sebagai
bentuk kesadaran dan tanggung jawab kita sebagai makhluk ciptaan Tuhan Yang
Maha Esa, merupakan suatu kewajiban bagi kita untuk menjaga dan melestarikan
lingkungan, khususnya seperti Gua Pawon sebagai salah satu fenomena di bentukan
lahan karst agar generasi yang akan datang dapat menikmati dan mempelajarinya.
DAFTAR PUSTAKA