Rabu, 03 Juli 2013

Laporan Geomorfologi Karst - Goa Pawon

BAB I
PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang
Geomorfologi berasal dari bahasa yunani kuno, terdiri dari tiga akar kata, yaitu Geo = bumi, morphe = bentuk dan logos = ilmu, sehingga kata geomorfologi dapat diartikan sebagai ilmu yang mempelajari bentuk permukaan bumi. Berasal dari bahasa yang sama, kata geologi memiliki arti ilmu yang mempelajari tentang proses terbentuknya bumi secara keseluruhan.
Definisi ; Geomorfologi adalah ilmu yang mempelajari tentang bentuk permukaan bumi serta proses - proses yang berlangsung terhadap permukaan bumi sejak bumi terbentuk sampai sekarang.
Berdasarkan pengertian dan definisi geomorfologi, maka bidang ilmu geomorfologi merupakan bagian dari geologi yang mempelajari bumi dengan pendekatan bentuk rupa bumi dan arsitektur rupa bumi.
Goa merupakan satu lorong yang terdapat di perut bumi yang disebabkan oleh faktor/kekuatan alam. Goa memiliki sistem atmosfer yang selalu basah, lingkungan dengan simplitas extern, serta suhu yang konstan, dan kesemuanya berlangsung dalam kegelapan yang abadi.
Gua Pawon adalah sebuah tempat yang penting bagi orang Sunda karena di sana pernah ditemukan kerangka manusia purba yang konon adalah nenek moyang orang Sunda (masih diteliti di balai Arkeolog Bandung). Gua ini sebenarnya adalah sebuah situs purbakala yang terletak di Desa Gunung Masigit, Kecamatan Cipatat, Padalarang, Kabupaten Bandung Barat, atau sekitar 25 km arah barat Kota Bandung.
Namun sayangnya popularitas Gua Pawon sendiri sebagai sebuah tempat wisata kalah dengan tempat-tempat wisata lainnya yang berada di sekitar Bandung. Misalanya saja oleh Kawah Putih, Tangkuban Perahu ataupun Situ Cibutur yang berada di dekatnya. Jadi bagi yang tinggal di daerah Bandung atau pun yang sering berdomisili di Jatinagor seperti kami, kami sarankan untuk berkunjung ke Gua Pawon ini.
1.2  Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian tersebut, maka kami merumuskan masalah pada Geomorfologi Gua Pawon tersebut, dan khususnya mengenai karakteristik dari gua Pawon tersebut, seperti kemiringan lereng, topografi gua pawon, jenis-jenis batuan, vegetasi daerah tersebut, dan kerapatan vegetasi yang ada di wilayah Gua Pawon tersebut.
1.3  Waktu dan Tempat
Observasi lapangan dilakukan pada:
Waktu             : Senin, 17 Juni 2013
Tempat            : Gua Pawon, Padalarang, Kabupaten Bandung

1.4  Tujuan Laporan
Adapun tujun dari Laporan ini, yaitu:
a)      Memberikan pengetahuan pada Mahasiswa dalam memahami karakteristik sebuah Gua
b)      Memberikan keterampilan kepada mahasiswa dalam mendeskripsikan sebuah Gua di keadaan sebenarnya.
1.5  Kegunaan Observasi
Adapun kegunaan observasi ini, yaitu:
a)      Meningkatkan kemampuan mahasiswa dalam penguasaan Bidang Geografi, khususnya mengenai mata kuliah Geomorfologi secara teori dan praktik lapangan.
b)      Data yang dihasilkan menjadi data dasar, bahan informasi dan referensi bagi pihak-pihak terkait yang membutuhkan informasi mengenai hal tersebut.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1  KARST
Karst adalah sebuah bentuk permukaan bumi yang pada umumnya dicirikan dengan adanya depresi tertutup (closed depression), drainase permukaan, dan gua. Daerah ini dibentuk terutama oleh pelarutan batuan, kebanyakan batu gamping.
            Karst adalah jenis batuan gamping yang telah mengalami proses pelarutan dengan batuan asam karbonat dan asam lainnya sebagai hasil dari proses pembusukan sisa-sisa tumbuhan di atasnya.
            Istilah karst yang dikenal di Indonesia sebenarnya diadopsi dari bahasa Yugoslavia/Slovenia. Istilah aslinya adalah krst/krast' yang merupakan nama suatu kawasan di perbatasan antara Yugoslavia dengan Italia Utara, dekat kota Trieste.
            Di Slovenia, istilah Karramengalami evolusi linguistik menjadi kars/kras yang bermakna daerah berbatu dan tandus. Pada akhir abad-18 hingga pertengahan abad 19, The Geographical & Geological Schooldi Vienna selalu menggunakan istilah kars/kras untuk menamakan daerah dengan “fenomena karst” dan berhasil meyakinkan dunia internasional untuk menggunakan istilah karst sebagai istilah ilmiah untuk menamakan daerah yang memiliki fenemina khas hingga sekarang.
            Daerah karst terbentuk oleh pelarutan batuan terjadi di litologi lain, terutama batuan karbonat lain misalnya dolomit, dalam evaporit seperti halnya gips dan halite, dalam silika seperti halnya batupasir dan kuarsa, dan di basalt dan granit dimana ada bagian yang kondisinya cenderung terbentuk gua (favourable). Daerah ini disebut karst asli.
Daerah karst dapat juga terbentuk oleh proses cuaca, kegiatan hidraulik, pergerakan tektonik, air dari pencairan salju dan pengosongan batu cair (lava). Karena proses dominan dari kasus tersebut adalah bukan pelarutan, kita dapat memilih untuk penyebutan bentuk lahan yang cocok adalah pseudokarst (karst palsu).
            Pembentukan Fisiografis secara umum berupa bukit-bukit dengan besar dan ketinggian yang beragam. Ciri khas bentang alam ini selain pembukitan, adanya dekokan/cekungan dengan berbagai ukuran. Pengasatan permukaan yang terganggu, serta gua dan sistem pengasatan bawah tanah.
            Salah satu faktor yang paling banyak menarik perhatian para ahli adalah keberadaan goa pada daerah karst. Goa karst merupakan laboratorium yang menyimpan berbagai informasi berharga untuk kegiatan maupun pekerjaan ilmiah di bawah permukaan daerah karst.
a.      Ciri-ciri daerah karst antara lain:
  • Daerahnya berupa cekungan-cekungan.
  • Terdapat bukit-bukit kecil.
  • Sungai-sungai yang nampak dipermukaan hilang dan terputus ke dalam tanah.
  • Adanya sungai-sungai di bawah permukaan tanah
  • Adanya endapan sedimen lempung berwama merah hasil dari pelapukan batu gamping.
  • Permukaan yang terbuka nampak kasar, berlubang-lubang dan runcing.
b.      Fungsi Kawasan Karst
1)      Kawasan Karst Sebagai Akuifer Air Alami
Fungsi kawasan karst bagi kehidupan manusia masih menjadi perdebatan hingga saat ini. Awalnya, para ahli memahami bahwa karst merupakan wilayah kering yang tidak produktif. Hal ini disebabkan oleh sifat fisik batugamping yang menyusun kawasan karst didominasi oleh porositas sekunder, banyak retakan dan permukaannya berlubang-lubang sehingga tidak mampu menyimpan air dalam waktu yang lama. Air hujan yang mengguyur daerah karst diyakini langsung turun ke bawah menuju zona jenuh air kemudian mengalir menuju titik-titik keluaran menjadi mata air atau terbuang ke laut.
Hal ini diyakini menjadi penyebab kenapa daerah karst selalu identik dengan kekeringan dan daerah tandus. Kawasan karst selanjutnya hanya dinilai dari segi ekonomis batugampingnya, yakni sebagai bahan galian golongan-C.
Perkembangan pengetahuan tentang karst ternyata mengungkapkan bahwa karst justru merupakan akuifer air yang baik, berpengaruh langsung bagi kehidupan manusia dan lingkungan sekitarnya. Konsep epikarst yang dilontarkan oleh ahli hidrologi karst Mangin (1973) menyebutkan bahwa lapisan batugamping yang ada di dekat permukaan karst memiliki kemampuan menyimpan air dalam kurun waktu yang lama.
Hal yang sama juga dikemukakan oleh Alexander Klimchouk (1979, 1981) bahwa zona di dekat permukaan karst merupakan zona utama pengisi sistem (hidrologi) karst melalui proses infiltrasi diffuse dan aliran celah (fissure flow). Daritipe aliran air pada celah vertikal, Chernyshev (1983) kemudian memperkirakan bahwa zona epikarst ini terletak pada kedalaman 30 – 50 meter di bawah permukaan karst dengan ketebalan bervariasi, biasanya 10 -15 meter dari permukaan (Klimchouk, 2003).
Berdasarkan hasil-hasil penelitian tersebut menjadi jelas bahwa kawasan karst memiliki fungsi yang jauh lebih penting daripada hanya sekedar gundukan bahan galian C, yaitu sebagai akuifer air alami yang berperan penting terhadap suplai hidrologi bagi daerah sekitarnya.
2)      Kawasan Karst Sebagai Hunian Fauna Pengendali Hama
Kawasan karst selalu memiliki goa yang jumlahnya mencapai belasan hingga ratusan dalam satu kawasan. Goa-goa ini ternyata merupakan hunian bagi sejumlah biota, salah satunya adalah kelelawar. Berbagai jenis kelelawar bisa hidup berdampingan dalam satu goa. Beberapa goa yang memiliki dimensi ruang besar dan lorong yang panjang, mampu menampung ribuan hingga jutaan ekor kelelawar.
Beberapa jenis kelelawar yang biasa ditemui hidup di goa-goa karst antara lain adalah kelelawar pemakan serangga dari jenis Nycteris javanica, Hipposideros larvatus, Hipposideros diadema, Rhinolopus sp, dan Miniopterus sp (Rahmadi & Wiantoro, 2007).
Daya jelajah kelelawar ini mencapai radius kurang lebih sembilan kilometer dari tempat tinggalnya, artinya kelelawar ini memiliki kemungkinan menjaga areal seluas 250 kilometer persegi dari ancaman hama serangga.
Kelelawar memiliki kemampuan makan hingga seperempat berat tubuhnya, tiap malamnya kelelawar pemakan serangga mampu melahap 800 – 1200 ekor serangga (Ducummon, 2001). Tentu saja hal ini berdampak positif bagi bidang pertanian. Petani tidak perlu repot mengeluarkan banyak uang untuk membeli pestisida. Namun sayangnya, kesadaran masyarakat terhadap nilai penting kelelawar masih begitu rendah. Di beberapa wilayah, masyarakat masih gemar memburu kelelawar untuk sekedar menjadi lauk pauk hingga diperjualbelikan.
Gangguan terhadap habitat kelelawar, menyebabkan hama serangga yang tidak terkendali. Akibatnya, hasil pertanian tidak sesuai dengan yang diharapkan hingga gagal panen total.
3)      Kawasan Karst Sebagai Pengendali Banjir
Sifat fisik batugamping penyusun kawasan karst memungkinkan kawasan karst tersebut memiliki kemampuan menyerap dan menyimpan air hujan dalam kurun waktu yang cukup lama. Hal ini tak lepas dari peran zona epikarst yang merupakan zona yang mampu menyimpan air paling banyak dalam satu tubuh batugamping.
Keberadaan zona epikarst yang terletak dekat permukaan sangat memungkinkan mendapatkan gangguan dari aktivitas manusia, salah satunya adalah perubahan bentuk lahan, baik untuk keperluan eksploitasi batugamping (baca : tambang) maupun untuk keperluan lain, seperti mendirikan bangunan.
Permukaan karst yang dikupas menyisakan batuan yang lebih pejal dan masif dengan sedikit pori-pori maupun retakan-retakan. Sehingga ketika hujan turun, batuan tersebut tidak lagi mampu menyerap air. Air yang tidak terserap akan melimpas melalui permukaan dan berpotensi menimbulkan banjir bandang, terutama jika lahan yang terkupas memiliki luas dan kelerengan yang signifikan.
Setiap lahan karst yang telah terkupas, membutuhkan waktu yang lama (ribuan tahun) untuk kembali membentuk lapisan epikarst dan berfungsi sebagaimana awalnya. Sehingga dapat disimpulkan, setiap kerusakan yang terjadi pada permukaan karst bersifat permanen dan tidak dapat direhabilitasi lagi.
4)      Kawasan Karst Sebagai Laboratorium Alam
Berbagai potensi yang terdapat di kawasan karst menjadikan kawasan karst memiliki nilai ilmiah yang tinggi. Di seluruh penjuru dunia, kawasan karst sudah umum menjadi lokasi penelitian berbagai disiplin ilmu pengetahuan. Segala segi informasi yang terekam dan tersimpan selama proses pembentukan karst menjadi bahan penelitian disiplin ilmu kebumian.
Flora dan fauna tentu saja menjadi kajian menarik bagi mereka yang menekuni ilmu hayati. Bukan hanya flora dan fauna yang hidup di permukaan karst, namun juga mereka yang jauh tersembunyi dalam gelapnya goa-goa karst. Karakter khusus perilaku hidrologi karst menjadi kajian tersendiri bagi mereka yang menekuni hidrologi.
Karst dengan segala sifat fisik batuan penyusunnya, ternyata merupakan tempat yang ideal untuk mengawetkan berbagai macam jenis sisa kehidupan masa lampau. Tak terkecuali fungsi goa sebagai tempat hunian manusia-manusia prasejarah. Aneka ragam perkakas hingga fosil manusia purba banyak ditemukan di kawasan karst. Tak heran jika kawasan karst ibarat surga bagi dunia arkeologi . Masih banyak lagi displin ilmu yang menggunakan karst sebagai laboratoriumnya.
Berbagai temuan spektakuler telah dipublikasikan sejak ilmu tentang karst dipelajari manusia pada awal abad 19 lalu. Beberapa diantaranya adalah temuan spektakuler tentang keberadaan goa terpanjang di dunia Flint – Mammoth System (500 km) di Kentucky – USA, goa terbesar di dunia Hang Dong Soon – Vietnam, Lukisan Goa Tertua di Lascaux Perancis, Fosil Manusia Kerdil/Hobbit di Liang Bua Flores – Indonesia, dsb.
Kawasan karst di Indonesia mencakup luas sekitar 15,4 juta hektare dan tersebar hampir di seluruh Indonesia. Perkiraan umur dimulai sejak 470 juta tahun lalu sampai yang terbaru sekitar 700.000 tahun. Keberadaan kawasan ini menunjukkan bahwa pulau-pulau Indonesia banyak yang pernah menjadi dasar laut, namun kemudian terangkat dan mengalami pengerasan. Wilayah karst biasanya berbukit-bukit dengan banyak gua.
c.       Berikut adalah wilayah karst di Indonesia:
Kawasan Pegunungan Sewu, Pegunungan Maros, dan Pegunungan Lorentz telah diusulkan ke UNESCO untuk menjadi Kawasan Warisan Dunia.
Sisa-sisa permukiman manusia purba ditemukan di Leang Cadang, Leang Lea, dan goa-goa lainnya di Maros, Goa Sampung dan Goa Lawa di Ponorogo, Goa Marjan dan Goa Song di Jember, Song Gentong (Tulungagung), Song Brubuh, Song Terus, dan Goa Tabuhan di Pacitan. Lukisan atau cap dinding ditemukan di kawasan Kalimantan Timur, Sulawesi Selatan dan Tenggara, Kepulauan Kai, Seram, Timor, serta Papua. Ini menunjukkan indikasi migrasi manusia ke arah timur. Selain itu ditemukan pula berbagai sisa berbagai jenis vertebrata berusia 1,7 juta tahun hingga 700.000 tahun.
Perlindungan kawasan karst dan gua-gua di bawahnya dalam UU No. 24 th 1992 bahwa yang termasuk kawasan lindung diantaranya kawasan resapan air dan kawasan cagar budaya dan ilmu pengetahuan (pasal 7) yang merupakan kawasan yang memberikan perlindungan kawasan dibawahnya (pasal 3).
d.      Potensi Kawasan Karst
Aspek Hidrologi, wilayah endokarst (dalam kasrt) di kawasan karst kaya akan sumber air.
Aspek Ilmu Pengetahuan, gua merupakan salah satu laboratorium alam bagi ilmuwan biologi, geologi, karstologi, dll. Gua juga merupakan habitat bagi kelelawar, sriti dan walet.
Aspek ekonomi,
Walet dan sriti yang tinggal dalam gua merupakan aset hayati yang sangat berharga. Gua juga merupakan aset wisata alam yang sangat unik dan menarik baik sebagai gua wisata umum maupun khusus (adventure).
Gua tertentu dapat dikembangkan sebagai obyek wisata gua. Fenomena bukit karst alam. Macam olah raga dapat dikembangkan di kawasan ini antara lain penyusuran gua, panjat tebing, lintas medan.
e.       Kerusakan Kawasan Karst
Kerusakan Lingkungan Karst dapat terjadi karena:
            Pembakaran batu gamping untuk pengambilan fasfat, Guano mineral kalsit, stalagtit/stalagmit dari gua-gua. Kerusakan total kawasan batu gamping dan pembuatan semen. Usaha Gampingisasi lahan-lahan pertanian komersialisasi gua-gua batu sembrono, pengambilan sarang walet/sriti dan kelelawar secara sembrono, penelusuran gua oleh pecinta alam tanpa mengerti yang harus diperhatikan, tanpa mengenal ekologi gua yang rapuh, dan tanpa mengetahui konservasi lingkungan gua.
Dalam konflik kepentingan antara perlindungan dan ekploitasi harus diawali dengan studi kelayakan yang menyeluruh pada lingkungan ekokarst, berorientasi pada wawasan lingkungan dan jangan hanya memperhatikan lokasi terbatas dimana kegiatan dilaksanakan.

2.2.1        Goa/ Guha
Goa merupakan satu lorong yang terdapat di perut bumi yang disebabkan oleh faktor/kekuatan alam. Goa memiliki sistem atmosfer yang selalu basah, lingkungan dengan simplitas extern, serta suhu yang konstan, dan kesemuanya berlangsung dalam kegelapan yang abadi.
Sebuah gua adalah sebuah lubang alami di tanah yang cukup besar dan dalam. Beberapa ilmuwan menjelaskan bahwa dia harus cukup besar sehingga beberapa bagian di dalamnya tidak menerima cahaya matahari; namun dalam penggunaan umumnya pengertiannya cukup luas, termasuk perlindungan batu, gua laut.
a.      Jenis-jenis goa
1.      Vertical Caves
Goa yang lorongnya berbentuk berdiri dari atas ke bawah, kedalamannya dapat mencapai 100 meter. Goa ini disebut PHOTOLING.
2.      Horizontal Caves
Goa yang lorongnya berbentuk memanjang tetapi tidak 100% lurus begitu saja, namun terkadang berbelok-belok dan juga naik turun, goa jenis ini biasa disebut PRHEATIC.

b.      SPELEOLOGI
Spelelologi berasal dari bahasa latin yang terdiri atas dua kata, yakni SPELAION yang artinya GOA dan LOGOS yang berarti ilmu. Sehingga dapat diartikan bahwa Speleologi adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari segala aspek tentang goa beserta lingkungannya, baik fisik beserta maupun biologis.

Bila berbicara tentang goa, maka di dalamnya banyak sekali terdapat disiplin ilmu, diantaranya Geologi, Biologi, Arkeologi, Hidrologi, Ekologi, Pemetaan Goa, Sedimentologi, dan sebagainya. Orang yang mempelajari Speleologi disebut juga SPELEOLOGIST atau SPELUNKERS. Sebenarnya pendidikan resmi tentang Speleologi tidak ada, jadi ahli speleologi secara akademis juga tidak ada.

Selain Ceospeleologi yang mempelajari goa dari aspek terjadinya, kita juga harus tahu apa yang dimaksud dengan Biospeleologi yang mempelajari kehidupan di dalam goa. Binatang yang hidup di dalam goa diklasifikasikan menjadi 3 golongan menurut derajat ketergantungan binatang tersebut dari kondisi goa, yakni:
1)      Trogloxenes (cave visitor)
Adalah binatang yang hidup di dalam goa yang sifatnya hanya pendatang saja, contoh: kupu-kupu, udang-udangan, kelelawar, dsb
2)      Troglophiles (cave guest)
Adalah binatang yang mencintai goa, sifatnya hanya sebagai tamu, lalu selamanya hidup di dalam kegelapan, misalnya: salamander, cacing, crustachea, kupu-kupu, (binatang yang pigmennya sudah berkurang). Binatang dari kedua golongan ini hidup disekitar mulut goa.
3)      Troglobites (cave dwellers)
Binatang jenis ini adalah binatang yang hidupnya menetap di dalam goa, biasanya tidak memiliki mata atau buta, misalnya: Ikan Goa, salamander, insecta seperti jangkrik yang mempunyai badan lebih panjang dari sejenisnya atau orang sunda sering menyebutnya sebagai Gaang, dan binatang parasit seperti kutu-kutu yang dibawa masuk oleh kelelawar. Binatang semacam ini hidup di kedalaman goa.
Pengertian dan Sejarah Penelusuran Gua 'Caving' yakni Caving berasal dari kata Cave= Gua. Sedangkan orang yang menelusuri gua disebut caver. Jadi caving bisa diartikan sebagai kegiatan penelusuran gua yang mana merupakan salah satu bentuk kegiatan dari Speleologi. Sedangkan Speleologi secara morfologi berasal dari bahasa Yunani, yaitu : Spalion = Gua dan Logos = ilmu. Jadi, secara harfiah Speleologi adalah Ilmu yang mempelajari tentang gua, tetapi karena perkembangan speleologi itu sendiri, spleologi juga mempelajari tentang lingkungan disekitar gua. 

Ada Beberapa Pengertian Penelusuran Gua "Caving' menurut para ahli Penemu mamupun para Caver, yakni :
  1. Menurut IUS (International Union of Speleology) anggota komisi X UNESCO PBB : “Gua adalah setiap ruang bawah tanah yang dapat dimasuki orang”.
  2. Menurut R.K.T.ko (Speleologiawan) : “Setiap ruang bawah tanah baik terang maupun gelap, luas maupun sempit, yang terbentuk melalui system percelahan, rekahan atau aliran sungai yang membentuk suatu lintasan aliran sungai dibawah tanah.”
Adapun Sejarah Penelusuran Gua 'Caving', yang dimulai dari tahun ke tahun, yakni :
  1. Penelusuran Gua dimulai oleh John Beaumont, ahli bedah dari Somerset, England (1674) ia seorang ahli tambang dan geologi amatir.
  2. Orang yang paling berjasa mendeskripsikan gua-gua antara tahun 1670-1680 adalah Baron Johann Valsavor dari Slovenia. Ia mengunjungi 70 goa, membuat peta, sketsa dan melahirkan buku setebal 2800 halaman.
  3. Joseph Nagel, pada tahun 1747 berhasil memetakan system perguaan di kerajaan Astro-Hongaria.
  4. Stephen Bishop, pemandu wisata gua yang paling berjasa dan membawa gua Mammoth diterima UNICEF sebagai warisan dunia.

2.2.2        PROSES TERBENTUKNYA GOA
Gua  adalah suatu lubang di tanah, atau di batuan, atau di gunung yang terbentuk secara alamiah. Jadi bentukan-bentukan seperti gua yang dibuat manusia sebenarnya tidak dapat dikelompokan sebagai gua, tapi lebih tepat sebagai suatu terowongan.
Gua adalah suatu bentukan alam yang umumnya terjadi akibat adanya suatu proses alam yang melubangi batuan. Bisa berbentuk suatu lorong yang panjang, gelap dan berkelok-kelok, tetapi dapat pula sebagai suatu ceruk dalam. Secara umum dikenal terjadi pada dua batuan yang jauh berbeda, yaitu pada batu gamping yang sangat intensif dan luas kejadiannya, dan pada kasus-kasus khusus di aliran lava basalt, tetapi dapat pula terjadi pada semua jenis batuan yang mengalami tingkat abrasi / erosi yang kuat melewati struktur-struktur tertentu.

2.2.3        TEORI KLASIK MENGENAI PERKEMBANGAN PERGUAAN menurut Reeder, (1988)
Banyak debat intensif yang terjadi selama abad ini yang menyangkut ilmu pengetahuan geomorfologi yang berhubungan dengan asal muasal gua di batu gamping. Apakah gua terbentuk diatas water table (zona vadose), dibawah water table (zona phreatic), atau pada bidang dari water table itu sendiri? Beberapa teori dapat dikelompokkan sebagai berikut:
  1. Teori Vadose-Dwerry house (1907), Greene (1908), Matson (1909), dan Malott (1937) mempertahankan bahwa sebagian besar perkembangan gua berada di atas water tabel dimana aliran air tanah paling besar. Jadi, aliran air tanah yang mengalir dengan cepat, yang mana gabungan korosi secara mekanis dengan pelarutan karbonat, yang bertanggung jawab terjadap perkembangan gua. Martel (1921) percaya bahwa begitu pentingnya aliran dalam gua dan saluran (conduit) begitu besar sehingga tidak berhubungan terhadap hal terbentuknya gua batu gamping sehingga tidak relevan menghubungkan batugamping yang ber-gua dengan dengan adanya water table, dengan pengertian bahwa permukaan tunggal dibawah keseluruhan batuannya telah jenuh air.
  2. Teori Deep Phreatic-Cjivic (1893), Grund (1903), Davis (1930) dan Bretz (1942) memperlihatkan bahwa permulaan gua dan kebanyakan pembesaran perguaan terjadi di kedalaman yang acak berada di bawah water table, sering kali pada zona phreatic yang dalam. Gua-gua diperlebar sebagai akibat dari korosi oleh air phreatic yang mengalir pelan. Perkembangan perguaan giliran kedua dapat terjadi jika water table diperrendah oleh denudasi (penggundulan) permukaan, sehingga pengeringan gua dari air tanah dan membuatnya menjadi vadose dan udara masuk kedalam gua. Selama proses kedua ini aliran permukaan dapat masuk ke sistem perguaan dan sedikit merubah lorong gua oleh korosi.
  3. Phreatic Dangkal atau Teori Water Table-Swinnerton (1932), R Rhoades dan Sinacori (1941), dan Davies (1960) mendukung gagasan bahwa air yang mengalir deras pada water tabel adalah yang bertanggungjawab terhadap pelarutan di banyak gua. Eleveasi dari water table berfluktuasi dengan variasi volume aliran air tanah, dan dapat menjadi perkembangan gua yang kuat didalam sebuah zone yang rapat diatas dan dibawah posisi rata-rata. Betapapun, posisi rata-rata water table harus relatif tetap konstan untuk periode yang lama. Untuk menjelaskan sistem gua yang multi tingkat, sebuah water table yang seimbang sering dihubungkan dengan periode base levelling dari landscape diikuti dengan periode peremajaan dengan kecepatan down-cutting ke base level berikutnya.
2.2.4        GUA PADA BATU GAMPING, KAWASAN KARST
Dari seluruh proses kejadian terbentuknya gua, yang paling luas dan intensif adalah gua-gua yang terbentuk pada formasi batu gamping yang umumnya kemudian berkembang menjadi suatu bentang alam khas yang dikenal sebagai bentang alam kars (karst, istilah internasional, berasal dari bahasa Jerman yang diperkenalkan oleh Cvijic pada sekitar tahun 1850 dari istilah asli bahasa Slavia krs atau kras setelah ia meneliti suatu daerah gersang di Slovenia/dulu Yugoslavia, timur laut Trieste).  Hampir semua goa yang ada dibentuk dari karst (dari bahasa Slavia Krs/Kras yang berarti batu-batuan). Istilah karst dipakai untuk suatu kawasan batu gamping (limestone) yang telah mengalami pelarutan sehingga menimbulkan relief dan pola pengaliran yang khas. Hal ini dicirikan dengan adanya proses geokimia dan kehadiran atmosfer, biosfer, dan hidrosfer sekaligus.
Sejarah geologi karst dimulai pada zaman karbon (sebutan untuk sebuah masa di 354-290 juta tahun lalu) akhir, hingga Perm (290-248 juta tahun lalu) awal yang menimbulkan batuan tertua. Umumnya pada akhir masa Perm awal, terjadi aktivitas tektonik berupa pengangkatan dan pelipatan satuan sabak serta timbulnya sesar mendatar. Pada zaman Trias (248-206 juta tahun lalu) awal, terjadi proses susut laut yang membentuk morfologi batu gamping. Ini akan diikuti dengan intrusi ke permukaan yang menerobos batu gamping, hingga mengakibatkan batu gamping menjadi marmer. Akibat proses gaya-gaya geologi yang berpengaruh, akan terbentuk struktur rekahan yang disebut diaklas, yakni jalur resapan air permukaan dan membentuk morfologi karst. Hal ini akan terus terjadi, entah sampai kapan berakhirnya. Mengapa pembentukan gua sangat intensif di kawasan kars yang batuannya didominasi batu gamping / batu kapur / limestone? Hal ini sangat terkait dengan sifat batu gamping yang unsur utamanya adalah karbonat CaCO3 yang sangat reaktif terhadap larutan asam, khususnya larutan senyawa asam yang mengandung CO2. Walaupun secara kimiawi prosesnya sangat rumit dan kompleks, tetapi proses pelarutan batu gamping secara sederhana mengikuti persamaan reaksi berikut:
CaCO3 + H2O + CO2 Ca+ 2HCO3
Proses dengan panah bolak-balik tersebut menunjukan bahwa air yang mengandung senyawa asam CO2 akan melarutkan karbonat menjadi kalsium dan bikarbonat. Reaksi balik dari kanan ke kiri akan kembali menghasilkan karbonat. Maka selain adanya proses pelarutan yang membawa partikel karbonat sehingga terjadi pelubangan dan pengguaan pada batu gamping, di tempat lain terjadi proses pengendapan karbonat berikutnya. Ini menerangkan proses selain terbentuknya gua itu sendiri, juga terbentuknya hiasan-hiasan gua (stalactite, stalagmite, flowstone, guardam, dll) yang merupakan hasil endapan karbonat dari pelarutan karbonat di tempat lain.
Namun demikian tidak sembarang batu gamping dan tidak sembarang tempat bisa membentuk gua. Gua batu gamping (yang berlorong panjang dan berliku-liku) umumnya berkembang akibat adanya proses pelarutan dan diperbesar oleh proses erosi / abrasi yang mengikuti suatu jaringan retakan pada batu gamping. Sebelumnya, faktor iklim, tanah penutup dan keberadaan air tanah menjadi kontrol utama proses pengguaan ini. Selain itu batu gampingnya sendiri umumnya harus padat, murni karbonat dengan sedikit campuran partikel lain, berlapis baik dan dalam kedudukan mendatar / tidak miring terjal. Kondisi ideal di atas merupakan kondisi ideal bagi berkembangnya perguaan dan biasanya berkembang menjadi kawasan kars tyang luas. Contoh daerah yang mempunyai kondisi ideal tersebut antara lain di Pangandaran, Jawa Barat ; Karangbolong, Gombong Selatan di Jawa Tengah ; Gunung Sewu yang sangat luas mulai dari Yogyakarta, selatan Wonogiri Jawa Tengah hingga Pacitan di Jawa Timur, yang kemudian bahkan menerus ke Tulungagung dan Blitar. Di Sumatra kawasan kars cukup luas berada di Payakumbuh hingga Sawahlunto, di Kalimantan terdapat di Sangkurilang, Kalimantan Timur bagian utara, Sulawesi Selatan di Maros dan Toraja, serta di berbagai tempat di Papua.

2.2.5        GUA PADA LAVA BASALT
Lain lagi Pembentukan gua pada batu basalt aliran lava. Proses ini tidak ada kaitannya dengan reaksi kimia, tetapi lebih terkait dengan proses aliran magma yang encer-panas-membara yang keluar dari kawah gunung api. Ketika magma keluar dari kawah, ia akan mengalir di permukaan menuruni lembah sebagai aliran lava (ingat …!!! bedakan dengan lahar yang merupakan banjir bandang dari lereng gunung api). Tentu saja aliran lava ini masih sangat panas membara dalam suhu sekitar 1000oC. Tetapi ketika keluar, segera lava ini kontak dengan suhu udara normal dan lava mulai membeku. Bagian yang membeku dan mengeras lebih dulu adalah bagian permukaan, sementara bagian dalam masih bisa mengalir ke arah lereng bawah. Maka ketika seluruh bahan lava yang masih mengalir di bagian dalam keluar di lereng bawah, akan menyisakan lubang yang di batasi oleh lapisan lava yang mengeras lebih dahulu di permukaan.
Proses gua pada lava biasanya terjadi pada magma yang bersifat encer, umumnya magma basalt yang ketika mengeras menjadi batu berwarna hitam. Jarang sekali gua terbentuk pada lava andesit yang lebih kental, karena begitu magma andesit keluar dari kawah gunung api, begitu pula ia membeku dan mengeras. Namun demikian lorong-lorong pendek yang sempit dan tidak beraturan bisa terbentuk pada bongkah-bongkah lava yang umumnya terjadi pada bagian lereng bawah suatu gunung api. Contoh gua-gua lava yang terkenal berada di Kepulauan Hawaii, sebagian malah berada di bawah laut. Di Indonesia diketahui ada di Purworejo di Gua Lawa.
2.2.6        GUA ABRASI
Gua akibat proses erosi atau abrasi bisa terjadi pada berbagai batuan, tetapi umumnya terjadi pada batuan keras dan padat yang membentuk lereng-lereng terjal di tepi pantai dengan gelombang besar. Gelombang yang setiap saat menghantam tebing batu menciptakan proses erosi yang luar biasa yang sedikit demi sedikit mencungkil partikel-partikel pada batu. Lama-lama semakin besar semakin dalam, bahkan bisa tembus pada sisi yang lain. Kondisi struktur geologi berupa retakan yang menjadi zona lemah akan menjadi faktor pertama pembentukan gua abrasi. Nama-nama geografi di pesisir yang bernama karang bolong adalah gua-gua yang terbentuk akibat proses abrasi gelombang ini.
PENGERTIAN GOA DAN SPELEOLOGI
Speleologi berasal dari bahasa Yunani, spelaion = goa dan logos = ilmu sehingga speleologi merupakan ilmu yang mempelajari tentang goa-goa. Goa merupakan bentukan alami yang tidak bisa terlepas atau berdiri sendiri dari lingkungannya sehingga speleologi merupakan ilmu tentang goa dan lingkungannya. Menurut IUS (International Union of Speleology), cave atau goa yaitu setiap ruang bawah tanah yang dapat ditelusuri/dimasuki manusia. Oleh karena itu, caving adalah suatu kegiatan yang dilakukan oleh manusia terhadap goa dan lingkungan goa. Ada tiga istilah yang sering digunakan oleh para penelusur goa yaitu speleologi (sering digunakan oleh orang Eropa), spelunking (oleh orang Amerika) sedangkan caving (oleh orang Inggris). Namun, di Indonesia istilah yang paling populer untuk sebutan Penelusuran Goa adalah Caving, sedangkan orang yang berkecimpung didalamnya disebut sebagai Caver
2.2.7        PROSES TERBENTUKNYA GOA
Sampai saat ini ada berbagai macam teori tentang bagaimana goa karst terbentuk. Menurut W. M. Davis (1930) goa pertama kali dibentuk didalam zone freatik dibawah permukaan tanah. Menurut Lehman (1932) bahwa goa mulai terbentuk setelah ada ruangan pemula. Beberapa teori yang lainnya menyatakan bahwa terjadinya goa dimulai pada saat terjadinya pelebaran rekahan oleh proses pelarutan (solusional). Proses pembentukan goa tersebut membutuhkan waktu yang sangat lama (jutaan bahkan ratusan juta tahun), sehingga speleogenesis hanya dapat diterangkan secara teoritis. Teori tentang terbentuknya goa memang masih dalam perdebatan, namun dari berbagai macam teori tersebut, ada beberapa yang dapat diterima dan dipakai secara umum. Teori tersebut dikenal dengan teori klasik pembentukan goa walaupun kini banyak bermunculan teori modern yang menyanggah teori klasik tersebut. Secara umum, ada 3 teori yang umum digunakan yaitu Vadose Theory, Deep Phreatic Theory dan Watertable Theory.
Vadose Theory
Menyatakan bahwa goa terbentuk akibat aliran air yang melewati rekahan-rekahan pada batuan gamping yang berada diatas permukaan air tanah.Teori Vadose ini banyak didukung oleh Dwerry house (1907), Greene (1908), Matson (1909), dan Malott (1937) yang mempertahankan bahwa sebagian besar perkembangan gua berada di atas watertable dimana aliran air tanah paling besar. Jadi, aliran air tanah yang mengalir dengan cepat, yang mana gabungan korosi secara mekanis dengan pelarutan karbonat, yang bertanggung jawab terjadap perkembangan gua. Martel (1921) percaya bahwa begitu pentingnya aliran dalam gua dan saluran (conduit) begitu besar sehingga tidak berhubungan terhadap hal terbentuknya gua batu gamping sehingga tidak relevan menghubungkan batugamping yang ber-gua dengan dengan adanya water table, dengan pengertian bahwa permukaan tunggal dibawah keseluruhan batuannya telah jenuh air.
Vadose Theory
a.      Deep Phreatic Theory
Menyebutkan goa terbentuk dibawah permukaan air tanah dimana pada rekahan-rekahan terbentuk goa akibat proses pelarutan. Teori Deep Phreaticini banyak dianut oleh Cjivic (1893), Grund (1903), Davis (1930) dan Bretz (1942) yang memperlihatkan bahwa permulaan gua dan kebanyakan pembesaran perguaan terjadi di kedalaman yang acak berada di bawah water table, sering kali pada zona phreatic yang dalam. Gua-gua diperlebar sebagai akibat dari korosi oleh air phreatic yang mengalir pelan. Perkembangan perguaan giliran kedua dapat terjadi jika water table diperrendah oleh denudasi (penggundulan) permukaan, sehingga pengeringan gua dari air tanah dan membuatnya menjadi vadose dan udara masuk kedalam gua. Selama proses kedua ini aliran permukaan dapat masuk ke sistem perguaan dan sedikit merubah lorong gua oleh korosi.
Deep Phreatic Theory
b.      Watertable theory
Menyatakan goa terbentuk dekat dan diatas permukaan airtanah sesuai dengan turunnya permukaan airtanah. Teori Water Table dianut oleh Swinnerton (1932), R Rhoades dan Sinacori (1941), dan Davies (1960) mendukung gagasan bahwa air yang mengalir deras pada water tabel adalah yang bertanggungjawab terhadap pelarutan di banyak gua. Eleveasi dari water table berfluktuasi dengan variasi volume aliran air tanah, dan dapat menjadi perkembangna gua yang kuat didalam sebuah zone yang rapat diatas dan dibawah posisi rata-rata. Betapapun, posisi rata-rata watertable harus relatif tetap konstan untuk periode yang lama. Untuk menjelaskan sistem gua yang multi tingkat, sebuah water table yang seimbang sering dihubungkan dengan periode base levelling dari landscape diikuti dengan periode peremajaan dengan kecepatan down-cutting ke base level berikutnya.
Watertable Theory
Beberapa faktor yang mempengaruhi terbentuknya goa adalah fisiografi regional, sistem percelahan-rekahan, struktur dari batuan karbonat, tektonisme setempat, sifat petrologi dan kimiawi batuan karbonat, volume air yang melalui, jenis dan jumlah sedimentasi, runtuhan, iklim masa kini dan masa lalu, vegetasi diatas lorong, bentuk semula dari goa tersebut dan tindakan manusia.

2.3  Goa Pawon
Gua Pawon adalah sebuah tempat yang penting bagi orang Sunda karena di sana pernah ditemukan kerangka manusia purba yang konon adalah nenek moyang orang Sunda (masih diteliti di balai Arkeolog Bandung). Gua ini sebenarnya adalah sebuah situs purbakala yang terletak di Desa Gunung Masigit, Kecamatan Cipatat, Padalarang, Kabupaten Bandung Barat, atau sekitar 25 km arah barat Kota Bandung.
Terletak di 601 m dpl, Goa Pawon berada di puncak bukit Pawon yang merupakan daerah penambangan batu kapur, dan pada zaman dahulu merupakan  tepian Danau Bandung Purba.
Namun sayangnya popularitas Gua Pawon sendiri sebagai sebuah tempat wisata kalah dengan tempat-tempat wisata lainnya yang berada di sekitar Bandung. Misalanya saja oleh Kawah Putih, Tangkuban Perahu ataupun Situ Cibutur yang berada di dekatnya. Jadi bagi yang tinggal di daerah Bandung atau pun yang sering berdomisili di Jatinagor seperti kami, kami sarankan untuk berkunjung ke Gua Pawon ini.
Untuk ke Gua Pawon, khusunya untuk yang berdomisili di Bandung atau Jatinangor, sebenarnya tidaklah sulit dan tidak memerlukan biaya yang besar. Kita tinggal naik bus jurusan Jakarta, Cianjur atau Bogor yang melewati Padalarang.
Setelah itu turun di di jalan raya Bandung - Cianjur, tepatnya di daerah Citatah. Tidak sulit ditemukan karena di pinggir jalannya ada plang bertuliskan ’Situs Sejarah Gua Pawon’. Semoga saat teman-teman pas kesana plangnya tidak sedang ambruk. Letaknya tidak jauh setelah melewati Situ Ciburuy. Kalau sama sekali tidak tahu kawasan ini, bisa minta tolong pada kernet bisnya. Ongkos yang harus dikeluarkan juga tidak terlalu mahal. Saat itu kami naik dari Cileunyi dan diharuskan membayar Rp 7.000, mungkin kalau dari Bandung antara Rp 20.000 - Rp 25.000.
Setelah sampai di plang tersebut ada sebuah belokan berupa sebuah jalan panjang yang tidak terlalu besar hanya saja jalanya sudah rusak cukup parah. Mungkin karena banyaknya truk pengangkut batu kapur yang sering pulang pergi lewat jalan itu. Sebenarnya untuk sampai ke Gua Pawon dari jalan tersebut, mempunyai dua pilihan. Pertama, naik ojeg dengan tarif sekitar Rp 10.000,- atau jika ingin merasakan perjalanan yang lebih seru, sebaiknya jalan kaki saja, karena pemandangan yang ditawarkan juga cukup cantik.
Bila ingin berjalan kaki, maka akan menempuh jalan yang berbatu-batu, menanjak dan jauh. Di tambah lagi matahari yang menyengat. Tapi semua itu akan terbayar karena sambil berjalan, bisa merasakan hembusan angin segar dan indahnya tebing di karst Citatah yang meneluarkan semburat emas terekena sinar matahari.
Dalam perjalanan ini, harus banyak bertanya pada warga sekitar karena sama sekali tidak ada papan petunjuk jalan untuk menuju ke Gua Pawon. Setelah berjalan cukup lama dan melewati beberapa tanjakan serta turunan ditambah jalan tanah merah becek barulah sampai di mulut Gua Pawon.
Selain menuju ke Gua Pawon, yang datang ke sini juag bisa memanjat teving di karst Citatah ataupun ke Gunung Masigit, karena kami pun sempat melihat beberapa orang yang sepertinya adalah pecinta alam sedang memanjat tebing.
Indah, eksotis dan misterius. Mungkin itulah kata-kata yang bisa menggambarkan Saat kami sampai ke Gua Pawon. Saat itu kami jadi ingin cepat-cepat masuk ke sana. Sayangnya harus siap-meliahat banyak sekali coretan-coretan pilox yang mengotori plang nama gua tersebut maupun dinding-dinding disekitarnya.
Atap Gua Pawon terdapat lubang tempat masuknya cahaya selain dari mulut gua. (Foto dari: budiheran.multiply.com)
Di daerah Padalarang, lebih lengkapnya di kawasan karst atau batu kapur Citatah, di Desa Gunung Masigit, Kecamatan Cipatat, Kabupaten Bandung Barat. Jaraknya sekitar 25 kilometer dari pusat Kota Bandung. Jawa Barat, Indonesia terdapat gua purba dengan seluas lebih dari 300 meter persegi. Di dalamnya terdiri dari beberapa rongga seperti kamar, juga beberapa jendela alami yang besar. Sehingga gua itu cukup terang oleh sinar matahari. Jalur jalannya seperti labirin dan menanjak mengarah ke tempat kuburan manusia purba berada, dan gua purba ini bernama Gua Pawon.
Letak Gua Pawon pada jaman dulu diasumsikan berada di tepian Danau Bandung Purba. Berdasarkan hasil survai A.C. De Yong dan G.H.R. Von Koenigswald tahun 1930-1935,  ditemukan alat-alat budaya masa lalu dari bahan obsidian, kalsidon, kwarsit, rijang dan andesit berupa anak panah, pisau, penyerut, gelang batu, batu asah dari Jaman Preneolitik, yang hidupnya mulai menetap di gua-gua atau ceruk atau sering kali dijumpai di kawasan perbukitan gamping.
Goa Pawon memiliki panjang 38 m dan lebar 16 m, sedang tinggi atap gua tidak dapat diketahui secara pasti karena saat ditemukan bagian atap gua sudah runtuh. Lantai gua hanya tersisa sebagian kecil di sisi barat karena sudah digali oleh masyarakat setempat untuk pengambilan fospat dengan kedalaman 4-5 m. Sedangkan lantai bagian tengah tertimbun oleh bongkahan runtuhan atap, sebagian besar sudah tererosi, sehingga membentuk lereng yang cukup terjal.
Hasil ekskavasi pada tahun 2003 dan 2004 berhasil ditemukan berbagai bentuk artefak, fitur maupun ekofak yang dapat mencirikan akan keberadaan situs tersebut dimasa lalu. Artefak yang terdiri dari pecahan keramik, gerabah, alat serpih, alat tulang berbentuk lancipan dan spatula, alat batu pukul (perkutor), sisa perhiasan yang terbuat dari gigi binatang dan gigi ikan, moluska dan temuan yang sangat signifikan dari keberadaan kehidupan  masa lalu berupa kerangka manusia. Selain itu juga ditemukan non artefaktual seperti  fragmen tulang dan moluska. Keberadaanya di Goa Pawon besar kemungkinan terjadi karena adanya kaitan rantai makanan yang pernah terjadi di masa lalu, dalam hal ini sebagai bagian dalam pemenuhan kebutuhan bahan makanan (konsumsi) dan mungkin juga untuk dipergunakan dalam pembuatan peralatan hidup sehari-hari.
Berdasarkan analisis geologi, proses runtuhnya atap Gua Pawon berawal dari terbentuknya mata air di tepian Cekungan Bandung Purba yang kemudian diikuti proses pelarutan yang membentuk lubang pada gua yang semakin besar dan akhirnya membuat langit-langit gua runtuh. Setelah atap gua runtuh dan sebagian gua kopi terbuka, peristiwa hujan abu gunungapi dari letusan dahsyat G. Sunda atau G. Tanguban Parahu memungkinkan mengisi lantai guanya.
Di puncak Pr.Pawon terdapat gejala mikro-karst yang membentuk bongkah-bongkah menonjol dari permukaan tanah yang menjadikan puncak bukit ini sebagai taman batu (Stone Garden). Proses pelarutan yang berjalan pada retakan-retakan batugamping menyembulkan sisa-sisa pelarutannya berupa bongkah batu gamping yang tersusun dengan tidak teratur dan tinggi yang berbeda-beda dan berelief kasar
Di bagian bawah ruang Gua Pawon, terdapat satu ruang gua lagi yang terletak memanjang dengan orientasi utara selatan, dengan bagian mulut berada di sisi sebelah utara. Di bagian depan gua tumbuh rumpun bambu yang cukup lebat dan pohon yang cukup besar sehingga mengakibatkan pencahayaan ke bagian dalam gua berkurang.
Pada penelitian berikutnya, lokasi tersebut tenyata menyimpan kerangka manusia purba, yang kini bisa kita temui di sisi utara gua dan dipagari. Di sana  terdapat sosok berupa tulang manusia yang sedang meringkuk, dan itu hanyalah replika hasil cetakan. Karena kerangka manusia aslinya sendiri telah dibawa dan diamankan di pusat arkeologi Bandung yang terletak di daerah Cileunyi. Kerangka aslinya sendiri hanya tinggal tersisia tempurung kepala dan beberapa tulang iga serta rahang bawah. Hal ini di sebabkan karena keadaan artefak yang telah rapuh.
Kerangka pertama di temukan oleh mahasiswa ITB dan peneliti dari LIPI, berbekal hipotesa bahwa kahidupan prasejarah banyak berpusat di gua, mereka pun akhirnya menemukan kerangka tersebut. Kerangka selanjutnya ditemukan dalam penggalian lanjutan oleh Balai Arkeologi pada Juli 2003 hingga penggalian 2009. Dari satu kerangka awal, kemudian ditemukan beberapa kerangka lainnya dengan total lima kerangka individu. Setelah diteliti, umurnya diperkirakan sudah 7.000 tahun. Peneliti juga memastikan kerangka itu berkelamin pria dan wanita. Usia mereka berkisar 17-35 tahun dengan gigi lengkap.
Dengan temuan tersebut, diperkirakan manusia purba tersebut telah menghuni gua pawon sejak 9000 tahun yang lalu. Manusia purba ini tinggal, makan dan berburu disekitar gua ini. Mereka banyak mengahabiskan hidup dengan menikmati segala hasil yang ada di gua ini, konon itu lah yang menyebabkan usia manusia purba di gua  ini tidak berumur panjang.
Berdasar hasil penelitian dan rekonstruksi sejarah, Mayat manusia purba diperlakukan dengan dua cara oleh kelompok atau keluarganya. Pertama, diletakkan di atas permukaan tanah dalam posisi tubuh ditekuk seperti janin atau lurus. Setelah membusuk dan tinggal kerangka, kemudian dilumuri hematit atau butiran tanah merah. Setelah itu mayat baru dikuburkan. Pelumuran tanah merah ini dimaksudkan agar kerangka ketika di kuburkan tidak rusak.
Selain kerangka manusia purba. hasil ekskavasi pada tahun 2003 dan 2004 berhasil menemukan berbagai bentuk artefak, fitur maupun ekofak yang dapat mencirikan keberadaan situs budaya peninggalam manusia purba tersebut di masa lalu. Artefak yang ditemukan di gua Pawon terdiri dari pecahan keramik, gerabah, alat serpih, alat tulang berbentuk lancipan dan spatula, alat batu pukul (perkutor), sisa perhiasan yang terbuat dari gigi binatang dan gigi ikan, moluska dan temuan yang sangat signifikan dari keberadaan kehidupan  masa lalu berupa kerangka manusia.
Selain itu juga di gua pawon ditemukan peninggalan budaya manusia non artefaktual seperti  fragmen tulang dan moluska. Keberadaanya di Gua Pawon besar kemungkinan terjadi karena adanya kaitan rantai makanan yang pernah terjadi di masa lalu, dalam hal ini sebagai bagian dalam pemenuhan kebutuhan bahan makanan (konsumsi) dan mungkin juga untuk dipergunakan dalam pembuatan peralatan hidup sehari-hari.
Keberadaan manusia purba yang hidup di gua pawon di sinyalir hidup ketika zaman berburu dan meramu, ketika manusia purba kala itu telah mulai menetap dan mengolah hasil buruannya. Pernyataan teori tersebut dibuktikan dengan ditemukannya beberapa alat seperti gerabah, pisau dari tulang serta manik manik dan perhiasan.
Namun sungguh disayangkan, keberadaan gua pawon hari ini terancam rusak karena adanya kegiatan (oknum) perusahaan penambangan batu kapur yang tidak terkontrol dan tidak ramah lingkungan, beberapa bagian gua telah ada yang runtuh dan beberapa artefak prasejarah ikut terkubur bersamanya. Kondisi tersebut seolah mencerminkan sikap ketidak pedulian kita dan pemerintah terhadap hasil temuan dan tinggalan arkheologi yang penting untuk terus dipelajari. Sangat disayangkan jika terus dibiarkan seperti itu.


BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
3.1  Observasi
Dalam bab speleologi yang terdapat pada mata kuliah geomorfologi kami melakukan penelitian yang bersifat observasi lapangan ke Goa Pawon  di Padalarang Jawa Barat. Pada penelitian kali ini kami mengkaji mengenai bentukan bentukan yang terdapat di dalam goa Pawon serta vegetasi yang berada di sekitar goa tersebut. Observasi tersebut yaitu: 
3.2  Setting Penelitian
a)  Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada hari senin dan selasa tanggal 17 sampai 18 juni 2013. Desa Cipatat, Kecamatan Padalarang, Bandung
b) Tempat Penelitian
Penelitian dilaksanakan di goa pawon Padalarang Jawa Barat. Dengan letak strategi berada di kawasan daerah kapur.
c) Subyek Penelitian
Subyek penelitian ini adalah bentukan bentukan yang terdapat di dalam dan di luar goa Pawon serta vegetasi yang terdapat di daerah goa Pawon.
3.3 Tehnik Dan Alat Pengumpulan Data
a.       Teknik Pengumpulan Data
      1. Observasi
Observasi dalam penelitian ini dilakukan oleh peneliti yang didampingi oleh dosen pembimbing. Observasi dalam penelitian ini adalah observasi langsung yaitu penelitian dan pengamat melihat dan mengamati secara langsung, kemudian mencatat perilaku dan kejadian yang terjadi pada keadaan sebenarnya pada saat itu.
Observasi dilakukan selama proses penelitian dari kegiatan awal sampai kegiatan akhir. Kegiataan pertama yang dilakukan adalah pengamatan terhadap bentukanbentukan yang terdapat pada gua paowon itu sendiri dan kemudian dilanjutkan dengan materi yang di berikan oleh dosen pembimbing dan tahap terakhir adalah dokumentasi. Dalam observasi ini penelitian lebih banyak mengamati bentukan bentukan yang terdapat di daerah goa pawon serta vegetasinya. Observasi ini mempunyai keterbatasan dalam menggali data karena waktu yang digunakan untuk observasi terbatas . Untuk itu diharapkan untuk observasi berikutnya waktu yang digunakan akan lebih panjang lagi.
2.      Lembar observasi
Lembar observasi atau kuesioner yang sifatnya open euded (terbuka) dan lentur, sehingga dapat menggali data sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan
3.      Pedoman wawancara
Teknik wawancara dilakukan dengan akrab dan terbuka serta mendalam, dengan ini diharapkan dapat menangkap informasi secara utuh oleh karena itu, teknik wawancara itu sering disebut wawancara mendalam (in-depth-interviewing (HB. Sutopo, 2002)
4.      Validasi Data
Data yang telah berhasil digali, dikumpulkan dan dicatat dalam kegiatan penelitian, harus di usahakan kemantapan kebenarannya. Oleh karena itu, setiap peneliti harus dapat memilih dan menentukan cara – cara yang tepat untuk mengembangkan valisasi data yang diperolehnya yakni dengan teknik triangulasi (HB. Sutopo, 2002)
Berkaitan dengan proses pembelajaran yang menekankan pada mengelompokkan bentuk – bentuk geometri dalam pembelajaran, maka validasi data yang digunakan adalah melalui triangulasi sumber dan triangulasi metode.
5.      Triangulasi Sumber
Triangulasi sumber sering juga disebut triangulasi data, maksudnya penelitian dalam pengumpulan data agar lebih dapat dipercaya dengan menggunakan berbagai ragam sumber.
6.      Triangulasi Metode
Triangulasi metode maksudnya peneliti mengumpulkan data sejenis dengan menggunakan metode yang berbeda. Dalam hal ini, peneliti menggunakan metode observasi dan wawancara.
7.      Analisis Data
Setelah data mengenai tentang bentuk – bentuk gambar dalam pembelajaran terkumpul, maka dianalisis.
Oleh karena teknik pengumpulan datanya menggunakan observasi dan wawancara, maka analisis datanya menggunakan observasi dan wawancara, maka analisis datanya merupakan analisis deskriptif berdasarkan hasil observasi dan refleksi. Observasi berarti mengaati hasil mewarnai anak sedangkan refleksi mengaitkan dengan waktu yang dicapai anak dalam mewarnai gambar – gambar.
8.      Indikator Kinerja
Setelah siswa mengikuti pembelajaran dengan mewarnai gambar. Indikator kinerja diharapkan sbb :
a.       Minimal 80% anak mampu melaksanakan tugas dengan baik ( • ) pada pengenalan gambar – gambar dan warnanya
  1. Minimal 60% anak yang mampu melaksanakan tugas dengan cukup ( ü) pada evektivitas kegiatan
  2. Minimal kurang dari 20% anak yang kurang mampu melaksanakan tugas ( 0 ) pada kreatifitas mewarnai gambar.
9.      Prosedur Penilaian
    1. Penilaian ini dilakukan dengan menggunakan metode penelitian tindakan kelas terdiri atas 2 siklus
    2. Langkah – langkah dalam siklus penelitian tindakan kelas (Kemmis 1986)
Terdiri atas :
a.       Perencanaan
Dalam tahab perencanaan ini, peneliti menyusun rencana program kegiatan penelitian tindakan kelas antara lain :
1)      Penyusunan dan pembuatan program satuan kegiatan harian (SKH)
2)      Penyusun dan pembuatan rencana pelajaran
3)      Pemilihan metode yang sesuai dengan materi pelajaran
4)      Pemilihan media yang sesuai dengan materi pelajaran
5)      Penyusunan instrument untuk mengetahui tingkat pencapaian belajar siswa
Observasi
Dalam pelaksanaan observasi, peneliti mengikut sertakan rekan guru untuk ikut bertugas mengamati dan mencermati dan kemudian memberikan penilaian dan saran – saran terhadap tindakan apa yang harus dilakukan baik oleh guru maupun oleh anak yang dirasa kurang atau masih ada yang perlu di tingkatkan.
Sedangkan langkah-langkah menjadi fokus observasinya adalah :

1)      Persiapan mengajar
2)      Pengelolaan kelas
3)      Keaktifan dan kreatifitas anak
4)      Penggunaan metode
5)      Penggunaan media

BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1  Morfologi Gua Pawon
Penelitian geomorfologi mengenai bahasan morfologi karst dan metode penghitungan transekline yang dilakukan di kawasan gua pawon mendapatkan beberapa hasil/temuan yang dapat di klasifikasikan berdasarkan bentukan-bentukan yang ada pada gua karst pada umumnya.
Disana ditemukan beberapa bentukan seperti:
1.      Canopy , batu yang menempel di dinding gua yang di tutupi kapur seperti kain

                                                                                                        
2.      Jendela gua, tempat manusia purba melihat keadaan di sekeliling gua

                       

3.      Gourdam, lantai gua yang berbentuk kotak-kotak karena percikan air







4.      Chamber,  ruang gua yang luas








5.      Gordyn, proses terjadinya hampir sama dengan stalagtit, hanya saja pembesarannya terjadi pada sebuah celah (crack) yang memanjang pada atap gua, sehingga bentukan yang tumpul menyerupai tirai-tirai seperti gorden jendela yang menggantung pada atap menuju ke bawah dengan lekukan-lekukannya.

                                    
6.      Stalaktit, adalah batu yang terbentuk di atap gua bentuknya meruncing kebawah.

                               
   Untuk bentukan seperti stalagmite yang biasa ditemukan pada bentukan gua karst, namun pada saat penelitian tidak ditemukan bentukan stalagmite dikarenakan banyaknya eksploitasi bentukan gua karst yang dilakukan pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab.
a.      Data Transekline
no
pohon (10x10 cm)
sapling (5x5 m)
sedling (2x2 m)
Species
D(cm)
species
D(cm)
Species
D (cm)
1
waru karst (1)
16cm
rumput (12)
1cm
tumbuhan paku (6)

2
waru karst



rumput (8)

3
waru karst





4
waru karst





note : 10 meter pertama





no
pohon (10x10 cm)
sapling (5x5 m)
sedling (2x2 m)

Species
D(cm)
Species
D(cm)
species
D (cm)

1
waru karst (2)
26cm
rumput (2)
2cm
rumput kecil (10)


















note : 10 meter kedua


















no
pohon (10x10 cm)
sapling (5x5 m)
sedling (2x2 m)
Species
D(cm)
Species
D(cm)
species
D (cm)
1
waru karst (6)
2cm
rumput (28)
1cm
rumput kecil (47)

2
pete cina (1)
3cm











note : 10 meter ketiga







BAB V
KESIMPULAN
Gua Pawon adalah sebuah tempat yang penting bagi orang Sunda karena di sana pernah ditemukan kerangka manusia purba yang konon adalah nenek moyang orang Sunda (masih diteliti di balai Arkeolog Bandung). Gua ini sebenarnya adalah sebuah situs purbakala yang terletak di Desa Gunung Masigit, Kecamatan Cipatat, Padalarang, Kabupaten Bandung Barat, atau sekitar 25 km arah barat Kota Bandung.
Namun sayangnya popularitas Gua Pawon sendiri sebagai sebuah tempat wisata kalah dengan tempat-tempat wisata lainnya yang berada di sekitar Bandung. Misalanya saja oleh Kawah Putih, Tangkuban Perahu ataupun Situ Cibutur yang berada di dekatnya. Dari sisi geomorfologi, Gua Pawon merupakan bagian dari bentukan lahan karst. Seperti gua-gua pada umumnya, di dalam Gua Pawon yang terletak di daerah Citatah-Padalarang Kabupaten Bandung juga terdapat ornamen-ornamen gua yang sangat beraneka ragam dan bernilai sejarah, budaya, dan estetis yang tinggi.
Di dalam gua pawon ini ada yang disebut sebagai ruang utama atau kamar pertama. Kamar pertama ini kecil dan digunakan sebagai tempat penyimpanan atau gudang. Dan ada juga yang sering disebut sebagai ruang terakhir atau ruang tujuh. Ruang ini digunakan untuk beristerihat atau tidur. Ruang ini juga sering digunakan sebagai tempat mengawasi keadaan di luar sebelum melakukan aktifitas karena terdapat lubang besar atau bisa disebut sebagai jendela alami

Bentuk gua merupakan cikal bakal adanya konsep rumah modern seperti sekarang ini. Awalnya manusia purba tinggal membuat tenda seperti saung-saung dari daun-daunan. Namun, karena tidak tahan terhadap cuaca seperti angin dan hujan maka manusia purba migrasi ke tempat lain. Mereka akhirnya memutuskan untuk tinggal di gua. Mengapa demikian, karena gua tempatnya tertutup dan bisa melindungi mereka dari angin, air, dan hewan-hewan buas. Lalu manusia purba menetap di gua pawon dan berkehidupan di sana.

Di dalam gua terdapat banyak stalaknit dan stalaktit dan stalakmit yang berarti menunjukan bahwa gua itu terbuat dari tetesan air permukaan yang.mengandung kapur atau batuan gamping dikarnakan tepat dia atas gua pawon terdapat stone garden yang merupakan gunung batuan gamping.

Diatas gua pawon terdapat gunung batuan gamping yang disebut kars Karst adalah sebuah bentukan di permukaan bumi yang pada umumnya dicirikan dengan adanya depresi tertutup (closed depression), drainase permukaan, dan gua. Daerah ini dibentuk terutama oleh pelarutan batuan, kebanyakan batu gamping. Daerah karst terbentuk oleh pelarutan batuan terjadi di litologi lain, terutama batuan karbonat lain misalnya dolomit, dalam evaporit seperti halnya gips dan halite, dalam silika seperti halnya batupasir dan kuarsa, dan di basalt dan granit dimana ada bagian yang kondisinya cenderung terbentuk gua (favourable).

Selain sebagai bentang alam dengan kenampakan yang memiliki nilai estetika, Gua Pawon juga didaulat menjadi kawasan cagar budaya. Gua Pawon sebagai cagar budaya diidentifikasikan dengan ditemukannya fosil manusia purba. Fosil tersebut dapat dilihat tidak terlalu jauh dari mulut gua. Adapun fosil yang dapat kita lihat saat ini merupakan replikanya saja, karena untuk fosil yang asli telah dipindahkan ke Museum Geologi Bandung.

Selain sebagai bentang alam dengan kenampakan yang memiliki nilai estetika, Gua Pawon juga didaulat menjadi kawasan cagar budaya. Gua Pawon sebagai cagar budaya diidentifikasikan dengan ditemukannya fosil manusia purba. Fosil tersebut dapat dilihat tidak terlalu jauh dari mulut gua. Adapun fosil yang dapat kita lihat saat ini merupakan replikanya saja, karena untuk fosil yang asli telah dipindahkan ke Museum Geologi Bandung.

Fosil manusia purba tersebut diduga sebagai orang penting pada masanya, seperti kepala suku, raja dan lain sebagainya. Hal itu disimpulkan dari sudut pandang sejarah dan dan penelitian tentang manusia purba sebelumnya, yaitu dilihat dari posisi dikuburkannya fosil tersebut dalam keadaan menekut, kedua tangan memeluk lutut. Hingga saat ini, penemuan tersebut masih terus diteliti.
Sebagai bentuk kesadaran dan tanggung jawab kita sebagai makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa, merupakan suatu kewajiban bagi kita untuk menjaga dan melestarikan lingkungan, khususnya seperti Gua Pawon sebagai salah satu fenomena di bentukan lahan karst agar generasi yang akan datang dapat menikmati dan mempelajarinya.



DAFTAR PUSTAKA

Read more…